Previous story: Cerita terakhir di part 1 menceritakan tentang kelangkaan sebuah jam tangan antik yang membuat sebuah jam tangan tua mampu dihargai sampai miliaran rupiah.
Memang tidak mayoritas yang akan mengincar jam tangan super langka tersebut, namun barang ini akan tetap dikejar oleh beberapa kelompok. Bangsawan, para elite atau para keluarga kerajaan. Ya masa saya yang mau beli jam tangan itu. Ngimpi! Kalau kata om Jin.
Dalam beberapa artikel ekonomi yang saya baca (sok aja, padahal cuma baca judulnya), indeks peringkat ekonomi Indonesia masih di ranking 50 dalam persaingan di pasar globalisasi, padahal tetangga kita aja, Singapura ranking dua dunia.
Indeks dalam Global Competitiveness yang disurvey oleh WEF (World Economic Forum) ini melambangkan kemakmuran suatu negara, dan indeks ini sering dipakai oleh kepala negara untuk menunjukkan kemajuan negaranya atau ketika mempromosikan surat utangnya.
Dalam hal ini, terlihat bahwa usaha Indonesia dalam persaingan globalisasi masih terlihat kurang kreatif dan kurang mau berusaha lebih tinggi lagi dalam mewujudkan sebuah ke-authentic-annya dalam menciptakan produk level dunia yang khas.
Dalam artikel tulisan Wiliam Wongso – Pakar masakan Indonesia di majalah National Geographic Indonesia edisi awal 2012 (lupa edisi bulan apa), bahwa kita memiliki beragam kebudayaan, salah satunya masakan khas Indonesia, salah satunya lagi yang paling terkenal adalah masakan Padang, saya konsentrasikan lagi, rendang Padang. Banyak sebenarnya orang-orang asli Padang yang tersebar di seluruh negara di belahan dunia, yang terbanyak adalah di Belanda. Banyak orang Padang yang tinggal di Belanda dan membuka restoran Padang di sana. Namun rasa rendang Padang yang dijual di sana rasanya benar-benar jauh dibanding resep asli rendang Padang di Indonesia. Mereka tidak mempertahankan ke-authentic-an resep aslinya. Cara memasak rendang Padang yang sebenarnya harus dimasak dengan api kecil dalam air santan dan diaduk sampai 8 (delapan) jam. Banyak orang yang memasak rendang Padang tidak mau repot melakukan hal rumit seperti itu, dan menggantinya dengan bumbu instan dan menjadikannya dalam 1-2 jam saja. Itu kalau di Padang disebutnya ‘Kalio’, bukan rendang! (Sebagai orang Padang, saya juga merasa sebal).
Terlihat dalam cerita di atas, bahwa kita masih kurang memperhatikan value dari sebuah proses yang dikata merepotkan. Padahal proses tersebut yang menjadikan produk kita jadi jauh lebih mahal harganya dibanding dengan produk yang biasa-biasa saja prosesnya.
“Make everything as simple as possible, but not simpler” -Albert Einstein-
4. Cerita tentang Produksi Pasir Silika
Kebetulan dalam setahun ini, saya sedang bekerja sama dengan perusahaan tambang nasional yang di mana bos-bosnya tambang ini sering mengeluhkan bahwa tenaga kerja di Indonesia masih banyak yang malas untuk disuruh melakukan pekerjaan rumit. Mereka hanya bisa menambang dan menjual dalam bentuk raw material (bahan dasar) saja.
Dalam industri tambang silika misalnya, di Indonesia hanya mampu menyediakan raw material pasir silika dalam butiran pasir 10-50 mesh dengan harga Rp100.000 per 50kg dan paling bagus harga bisa mencapai Rp500.000 per 50 kg bila menjadi (sub) mikro-silika 50-200 mesh (Mesh adalah hitungan teknik mengenai jumlah lubang dalam luasan 1 inchi. Misal ukuran 10 mesh, artinya dalam penampang seluas 1 inchi terdapat 10 lobang yang per lobangnya menjadi ukuran silika tersebut).
Indonesia belum mampu memproduksi produk silika lebih tinggi dari yang di atas. Padahal permintaan atas kebutuhan negara-negara maju seperti Jepang dan Jerman, pemilik industri ban-ban radial, moto GP dan pembuat ban pesawat, mereka membutuhkan silika murni 99% dengan ukuran nano (200-900 mesh) dengan harga mencapai Rp1.000.000 per 10kg. Ditambah peraturan menteri Permendag No. 02/M-DAG/PER/1/2007 mengenai ijin ekspor silika di mana mineral yang lain dilarang diekspor. Menunjukkan bahwa kekuatan produksi di Indonesia masih diharapkan bisa meningkat lagi.
Dalam kasus tambang di atas, memperlihatkan bahwa kelas kita baru kelas penyedia komoditi saja, kelas raw material atau bahan dasar. Belum bisa mencapai minimal level barang ber-value. Seperti cerita parfum yang dijual Singapura dan Perancis di artikel ‘Cerita tentang Naik Kelas (part 1)’
Untuk mencapai value yang dapat meningkatkan harga jual memang perlu melalui proses yang lebih rumit ketimbang memproduksi raw material belaka, perlu penanganan oleh orang-orang yang kompeten di bidangnya. Memerlukan waktu yang lebih panjang, cost yang lebih besar. Namun hasil yang diperoleh pun akan lebih bernilai pastinya. Apalagi untuk mencapai kelas kelangkaan? Sudah, yang penting kita tingkatkan diri dahulu untuk mencapai kelas value. Untuk memiliki produk yang bisa dijual dengan harga yang lebih tinggi, dan meningkatkan kualitas produk-produk di Indonesia.
Sama seperti pesan-pesan di akhir semua tulisan saya, “Semoga bermanfaat” J
0 Komentar:
Posting Komentar
Silahkan memberikan komentar yang lebih gila...