Minggu, 16 September 2012

Diskon


Salah satu promo diskon

Oleh: Yoga PS

Dua minggu setelah musim lebaran, saya mencoba berjalan-jalan kesalah satu pusat perbelanjaan di Jakarta. Lagi butuh sepatu jogging, sekalian mau ngecek, apakah perayaan ritual konsumsi pasca lebaran masih berlanjut. Karena Anda tahu, konsumsi masyarakat Indonesia mencapai puncaknya saat ramadhan.

Tibalah saya disalah satu tenant sepatu. Harganya masih sama, berkisar ratusan ribu hingga jutaan rupiah. Tapi yang menarik adalah masih adanya promo diskon yang bagi saya, cenderung “menyesatkan”.

Permainan Psikologis

Coba bayangkan, ada dua jenis sepatu. Yang di diskon, dan yang tidak. Sepatu tanpa diskon berharga, anggap saja, rata-rata 500ribu rupiah. Sepatu dengan diskon, tertulis gede-gede 50% OFF, memiliki harga gross rata-rata 900ribu. Harga netnya? Silahkan dibagi dua = 450 ribu rupiah. Koq hampir sama aja dengan yang ga diskon sih?

Mungkin hal inilah yang sempat dikeluhkan YLKI saat perhelatan Jakarta Great Sale beberapa waktu lalu. penjual memberikan diskon setelah menaikkan harga base barang tersebut. Sehingga diskon sebenarnya tidak sebesar yang digembar-gemborkan. Diskon hanya berperan sebagai sweeter, pemanis, yang sayangnya terbuat dari gula buatan. Sehingga tidak baik bagi kesehatan keuangan.

Hal yang sama juga berlaku bagi industry travel. Baik pesawat, kereta api, dan kapal laut. Anda tahu kan maskapai penerbangan yang sering memberikan diskon promo, bahkan ada yang sampai seharga NOL rupiah. Apakah mereka rugi? Oh, jangan salah. Mereka justru mendapatkan keuntungan berlipat.

Karena pricing tiket pesawat menerapkan system floating real time yang terus berubah. Tidak ada harga pasti. Ada asymmetric information. Semakin jauh hari booking, harga semakin murah. Semakin mepet, semakin mahal. Tapi terkadang, selang beberapa jam jika seat masih kosong, harga bisa murah.

Yang jelas, tiket promo mampu meningkatkan awareness. Orang berlomba-lomba membuka website untuk mencari informasi. Mereka tergiur dari promosi tiket murah, yang meskipun dari 100 seat, mungkin yang di-promo hanya dua seat (itu rahasia perusahaan sih hehehe).
Secara psikologis, setidaknya ada beberapa peran diskon:
1. Feel good factor
Mendapat harga lebih murah itu sungguh menyenangkan. Perasaan “nyaman” inilah yang membuat konsumen selalu tergiur dengan kata diskon. Ada semacam rasa “kemenangan” saat mendapatkan diskon. Terkadang saya lebih merasa puas membeli barang seharga 1 juta dengan diskon 20%, daripada barang tanpa diskon senilai 800 ribu. Padahal endingnya sama.

2. Opportunity loss effect
Jika kita membeli sekarang dengan harga 1000, sedangkan besok harga menjadi 1200, maka ada opportunity loss yang hilang sebesar 200. Perhitungan “beli sekarang mumpung murah” ini membuat kita merasa aji mumpung dan menjadi alasan untuk membeli. Tapi kita harus ingat, konsumsi bukanlah investasi.

3. Sense of urgency
“Hari Senin, harga naik”. Salah satu bunyi warning iklan property di televisi. Kondisi ini memicu rasa takut kehilangan di dalam otak (entah amigdala atau hipotalamus?). yang jelas harus ada time limit. Jika diskon diberikan tanpa batasan, maka konsumen akan menanggapinya secara biasa saja. Seperti toko buku diskon Toga Mas, yang memberikan diskon minimal 20% for all item and all time (demi bisa membaca buku baru gratis, saya pernah bekerja sebagai pelayan di toko buku ini saat masih mahasiswa)

Kombinasi feel good factor, opportunity loss effect, dan sense of urgency inilah yang mendorong orang untuk terus berbelanja, terkadang dengan utang, dan mengoleksi barang yang tidak mereka butuhkan, untuk dipamerkan ke orang yang tidak mereka kenal. Saya punya teman perempuan yang selalu merasa “berdosa” jika window shopping di mall. Karena pasti ada aja tas belanjaan yang ia tenteng jika melihat papan diskon yang dipajang. Jika ditanya kenapa membeli, jawabannya enteng: mumpung lagi diskon!.

Eits, tapi bukan berarti diskon itu buruk ya. Justru bagus donk jika kita bisa mendapat harga murah. Tujuan saya menulis tentang ini agar kita jangan mudah diperdaya oleh kata diskon yang melekat. Karena bisa saja itu hanya permainan psikologis para pemasar.

Srigala Eskimo

Masyarakat Eskimo memiliki cara tradisional untuk berburu srigala menggunakan pisau. Di malam hari, mereka mengolesi pisau itu dengan darah dan menancapkannya di tanah dengan ujung tajam berada diatas. Srigala yang memiliki killer instinct dan haus darah akan mendatangi umpan pisau berselimut darah itu.

Srigala yang lapar akan mulai menjilat pisau , dan secara tidak sadar (ditengah hawa beku), melukai lidahnya sendiri. Lidah yang tersayat pisau akan mengeluarkan darah dan terus melumuri pisau yang sebelumnya telah berlumuran darah. Srigala yang bernafsu tidak akan bisa membedakan darah yang mereka jilat. Dan semakin lama mereka menjilat darah, semakin haus mereka akan darah. Dan semakin lemas tubuh mereka. Srigala yang haus darah, pada akhirnya akan mati kehabisan darah.

Demikian juga dengan konsumen konsumtif yang terbujuk rayuan diskon. Mereka terkena efek impulse buying. Sebuah pseudo profit. Keuntungan semu dalam jangka pendek. Para konsumen konsumtif yang melihat diskon dan harga miring, tergiur tanpa berpikir panjang. Meski harus berhutang. Meski lebih besar pasak, daripada tiang.

Seperti srigala yang terus jilat.. jilat.. jilat.. karena lapar.. lapar.. lapar..

Mereka pun terus beli.. beli.. beli.. karena diskon.. diskon.. diskon..

Pencerahan

Author & Editor

Has laoreet percipitur ad. Vide interesset in mei, no his legimus verterem. Et nostrum imperdiet appellantur usu, mnesarchum referrentur id vim.

0 Komentar:

Posting Komentar

Silahkan memberikan komentar yang lebih gila...