Selasa, 02 Oktober 2012

Kasus Tentang Ngutang

Oleh: Aulia Rachman Alfahmy
Ini sebenarnya sebuah kasus sehari-hari yang mungkin sering kita temui, saya tidak tahu apa nama resminya (mungkin yang anak akuntansi bisa membantu), tapi bercerita tentang pengalihan utang. Begini ceritanya, ada tiga orang sahabat, Aulia, Rachman, dan Alfahmy. Aulia ini orangnya suka berutang di sana-sini, hidupnya cukup aneh dan berantakan (kasihan sekali dia!). Rachman adalah orang yang sangat penyayang dengan setiap orang, bahkan terkadang dia rela berkorban untuk orang lain. Alfahmy, adalah orang yang sangat pintar dan cerdas. Seseorang yang sangat paham segala situasi dan apa sumber permasalahan yang sedang dihadapinya.

Pada suatu ketika, Aulia yang gemar berutang meminjam uang sebesar Rp50,000.- kepada Rachman. Tanpa berpikir panjang, Rachman yang dasarnya adalah orang yang sangat pengasih (suka ngasih-ngasih sana-sini hehehe) mengabulkan permintaan Aulia. Jadilah Aulia saat ini berutang kepada Rachman sebesar Rp50.000. Entah digunakan apa uang itu oleh Aulia.

Selanjutnya justru Rachman terkaget-kaget dengan kondisi finansialnya, karena dasarnya hanya belas kasih sosial, dia tidak sempat melihat kondisi pribadi dan kebutuhannya. Ternyata gajinya bulan ini terlambat dibayarkan oleh kantornya. Padahal Ibu kos di mana dia tinggal sudah menagih uang kamar sebesar Rp100.000 (kok murah? Anggap aja ini kejadiannya 10 tahun silam! Hehehehe). Akrhinya dia bertemu dengan Alfahmy.

Rachman meminta pinjaman kepada Alfahmy. Alfahmy, yang dasarnya adalah orang yang paham betul tentang ekonomi, langsung bertanya, “Kapan utang ini akan dikembalikan”. Rachman menjawab, “Seminggu lagi, setelah gaji saya turun, InsyaAllah”. Alfahmy, lalu melihat wajah Rachman dengan seksama dari atas hingga ke bawa (kayak di sintetron-sinetron itu loh!). Sok-sok menilai kredibilitas si Rachman. Lalu menjawab, “Baiklah Rachman, ini saya berikan pinjaman Rp100.000, kembalikan minggu depan. Tidak perlu ada bunga, yang penting uang saya utuh. Kamu beruntung karena saya paham bunga itu haram.” Jadilah Rachman sekarang berutang kepada Alfahmy sebesar Rp100.000.

Seminggu berselang, Alfahmy datang kepada Rachman. “Hai Rachman, mana piutang saya Rp100.000”. Rachman yang sudah dapat gaji tanpa mengelak langsung mempersiapkan uang dari dompetnya Rp100.000, awalnya. Lalu dia berpikir tentang sesuatu dan akhirnya berkata dalam hati, “Ohya! Saya kan masih ada piutang sama Aulia sebesar Rp50.000”. Akhirnya dia mengambil uang sebesar Rp50.000 dari dompetnya dan berkata pada Alfahmy, “Ini utang saya Rp50.000, sisanya Rp50.000 kamu bisa tagih ke Aulia ya, aku masih punya piutang sama dia. Oke kan?”

Dahi Alfahmy mengerut, matanya menyorot tajam Rachman sambil berkata, “Tidak! Saya tidak mau membeli ‘obligasi’ mu yang kamu beli dari si Aulia pengutang itu! Rate obligasinya di mata saya sangat rendah, kamu tidak boleh memaksa saya untuk membeli obligasi itu, tidak ada paksaan dalam jual dan beli”. Rachman bingung, mengapa hal yang simpel dan mudah ini jadi rumit? Kenapa ada kata-kata “obligasi” dan “rate” kenapa ada kata-kata “jual” dan “beli”. Rachman bingung terhadap si Alfahmy yang memang sempat kuliah di ilmu ekonomi itu.

Maksudnya Apa?
Ini adalah cerita simpel soal kasus pengalihan utang yang mungkin sering kali terjadi dalam kehidupan kita sehari-hari. Rachman yang lugu mungkin kaget dengan konstruksi berpikir si Alfahmy yang anak Ekonomi ini. Kasusnya sebenarnya simpel.

Dalam dunia ekonomi dikenal obligasi atau surat utang. Jika Anda membeli surat obligasi, itu dalam bahasa “kampungannya” adalah anda memberikan pinjaman alias utang. Maka anda akan berhak memegang surat obligasi. Dalam praktiknya, obligasi seringkali melekat kupon atau rate bunga di dalamnya. Kemudian, di dunia keuangan, obligasi ini juga dapat diperjual-belikan atau berpindah tangan. Jadi cerita di atas adalah cerita di mana tanpa sengaja si Rachman memaksa Alfahmy membeli obligasinya (yang awalnya dia dapat dari si Aulia).

Lalu di pasar obligasi apa yang menentukan harganya? Dasar umumnya adalah bunga atau kupon yang melekat pada obligasi itu. Maka jika kita menggunakan penghitungan berbasis konsep future value of money akan sangat mudah ditentukan berapa harga yang fair dari sebuah surat utang atau obligasi, coba cari di Google apa maksud konsep future value of money ini. Namun, penghitungan ini akan bisa diterapkan kepada obligasi yang berisiko nol (risk free), dalam praktiknya satu-satunya surat utang yang bebas risiko adalah SUN alias Surat Utang Negara (di negara lain tentu saja punya nama yang berbeda, misalnya US dengan treasury bond-nya, bahasa inggris obligasi adalah “bonds”, jadi kalau James Bond apa yang maksudnya? :P).

Namun demikian, obligasi ini tidak hanya dikeluarkan oleh negara saja, perusahaan pun bisa mengeluarkan instrumen keuangan ini. Nah, seiring perkembangan jaman dan dunia finansial sangat berkembang pesat, obligasi-obligasi ini akhirnya turut diperdagangkan juga layaknya saham-saham perusahaan di pasar saham (obligasi dijual di “pasar obligasi”). Maka jika saham sebuah perusahaan memiliki rate maka obligasi pun juga demikian.

Satu perusahaan dengan perusahaan lain punya kekuatan keuangan yang berbeda-beda. Nah, inilah yang akhirnya yang menjadi bobot penilaian atas rating surat-surat berharga yang mereka miliki baik dalam bentuk saham ataupun obligasi. Bayangkan bahwa obligasi adalah sebuah kertas belaka yang di atasnya adalah pernyataan bahwa perusahaan A telah berutang pada Mr. B sebesar sekian. Sekilas Mr.B terlihat kaya karena iya memiliki obligasi perusahaan A, tapi jika ditelusuri ternyata perusahaan A adalah perusahaan fiktif, maka akan sangat menyesal sekali jika ada seseorang yang membeli obligasi dari mr. B ini. Ini namanya obligasi bodong!

Sama halnya dengan kasus Aulia, Rachman dan Alfahmy. Alfahmy menilai bahwa obligasi Aulia itu nilainya lebih rendah dari Rp50.000. Mengapa? Karena reputasi Aulia dalam berutang sudah terbukti buruk. Memang iya, si Alfahmy akan menerima Rp50.000 juga kelak dari Aulia. Tapi usaha untuk membuat  si Aulia yang gemar berutang ini untuk membayar utangnya juga menimbulkan biaya dan pengorbanan, mulai dari pengorbanan waktu, bensin hingga pengorbanan perasaan. Setelah Alfahmy hitung-hitung dalam kepalanya, nilai obligasi Aulia yang dipegang Rachman tidak lebih dari Rp25.000 saja. Maka benarlah si Alfahmy yang sangat cerdas ini bahwa Rachman tidak boleh semen-mena memaksa dia membeli obligasi itu. Adapun Rachman yang sudah terlanjur memberi pinjaman kepada Aulia dengan terburu-buru, menurut Alfahmy itu adalah “salah” Rachman sendiri.

Mungkin, bagi Rachman memberikan utang adalah bentuk amal ibadah dan tolong menolong tanpa memandang siapa yang berutang, toh semua akan mendapat balasan dari Allah SWT. Dia tidak menggunakan itung-itungan rumit ala Alfahmy. Sebaliknya, Alfahmy yang punya dasar berpikir ekonomi yang kuat dan sedikit condong ke arah prinsip dagang yang adil, hanya berpegangan bahwa dalam berdagang tidak boleh ada paksaan dan tidak boleh ada yang dianiaya.
Semua sama-sama benar. Wallahu alam bishawab

Jogja 1 Oktober 2012

Unknown

Author & Editor

Has laoreet percipitur ad. Vide interesset in mei, no his legimus verterem. Et nostrum imperdiet appellantur usu, mnesarchum referrentur id vim.

0 Komentar:

Posting Komentar

Silahkan memberikan komentar yang lebih gila...