Oleh: Aulia Rachman Alfahmy
Ini sebenarnya sebuah kasus sehari-hari yang mungkin sering kita
temui, saya tidak tahu apa nama resminya (mungkin yang anak akuntansi
bisa membantu), tapi bercerita tentang pengalihan utang. Begini
ceritanya, ada tiga orang sahabat, Aulia, Rachman, dan Alfahmy. Aulia
ini orangnya suka berutang di sana-sini, hidupnya cukup aneh dan
berantakan (kasihan sekali dia!). Rachman adalah orang yang sangat
penyayang dengan setiap orang, bahkan terkadang dia rela berkorban untuk
orang lain. Alfahmy, adalah orang yang sangat pintar dan cerdas.
Seseorang yang sangat paham segala situasi dan apa sumber permasalahan
yang sedang dihadapinya.
Pada suatu ketika, Aulia yang gemar berutang meminjam uang sebesar
Rp50,000.- kepada Rachman. Tanpa berpikir panjang, Rachman yang dasarnya
adalah orang yang sangat pengasih (suka ngasih-ngasih sana-sini hehehe)
mengabulkan permintaan Aulia. Jadilah Aulia saat ini berutang kepada
Rachman sebesar Rp50.000. Entah digunakan apa uang itu oleh Aulia.
Selanjutnya justru Rachman terkaget-kaget dengan kondisi finansialnya, karena dasarnya hanya belas kasih sosial, dia
tidak sempat melihat kondisi pribadi dan kebutuhannya. Ternyata gajinya
bulan ini terlambat dibayarkan oleh kantornya. Padahal Ibu kos di mana
dia tinggal sudah menagih uang kamar sebesar Rp100.000 (kok murah?
Anggap aja ini kejadiannya 10 tahun silam! Hehehehe). Akrhinya dia
bertemu dengan Alfahmy.
Rachman meminta pinjaman kepada Alfahmy. Alfahmy, yang dasarnya
adalah orang yang paham betul tentang ekonomi, langsung bertanya, “Kapan
utang ini akan dikembalikan”. Rachman menjawab, “Seminggu lagi, setelah
gaji saya turun, InsyaAllah”. Alfahmy, lalu melihat wajah Rachman
dengan seksama dari atas hingga ke bawa (kayak di sintetron-sinetron itu
loh!). Sok-sok menilai kredibilitas si Rachman. Lalu menjawab, “Baiklah
Rachman, ini saya berikan pinjaman Rp100.000, kembalikan minggu depan.
Tidak perlu ada bunga, yang penting uang saya utuh. Kamu beruntung
karena saya paham bunga itu haram.” Jadilah Rachman sekarang berutang
kepada Alfahmy sebesar Rp100.000.
Seminggu berselang, Alfahmy datang kepada Rachman. “Hai Rachman, mana
piutang saya Rp100.000”. Rachman yang sudah dapat gaji tanpa mengelak
langsung mempersiapkan uang dari dompetnya Rp100.000, awalnya. Lalu dia
berpikir tentang sesuatu dan akhirnya berkata dalam hati, “Ohya! Saya
kan masih ada piutang sama Aulia sebesar Rp50.000”. Akhirnya dia
mengambil uang sebesar Rp50.000 dari dompetnya dan berkata pada Alfahmy,
“Ini utang saya Rp50.000, sisanya Rp50.000 kamu bisa tagih ke Aulia ya,
aku masih punya piutang sama dia. Oke kan?”
Dahi Alfahmy mengerut, matanya menyorot tajam Rachman sambil berkata,
“Tidak! Saya tidak mau membeli ‘obligasi’ mu yang kamu beli dari si
Aulia pengutang itu! Rate obligasinya di mata saya sangat rendah, kamu
tidak boleh memaksa saya untuk membeli obligasi itu, tidak ada paksaan
dalam jual dan beli”. Rachman bingung, mengapa hal yang simpel dan mudah
ini jadi rumit? Kenapa ada kata-kata “obligasi” dan “rate” kenapa ada
kata-kata “jual” dan “beli”. Rachman bingung terhadap si Alfahmy yang
memang sempat kuliah di ilmu ekonomi itu.
Maksudnya Apa?
Ini adalah cerita simpel soal kasus pengalihan utang yang mungkin
sering kali terjadi dalam kehidupan kita sehari-hari. Rachman yang lugu
mungkin kaget dengan konstruksi berpikir si Alfahmy yang anak Ekonomi
ini. Kasusnya sebenarnya simpel.
Dalam dunia ekonomi dikenal obligasi atau surat utang. Jika Anda
membeli surat obligasi, itu dalam bahasa “kampungannya” adalah anda
memberikan pinjaman alias utang. Maka anda akan berhak memegang surat
obligasi. Dalam praktiknya, obligasi seringkali melekat kupon atau rate
bunga di dalamnya. Kemudian, di dunia keuangan, obligasi ini juga dapat
diperjual-belikan atau berpindah tangan. Jadi cerita di atas adalah
cerita di mana tanpa sengaja si Rachman memaksa Alfahmy membeli
obligasinya (yang awalnya dia dapat dari si Aulia).
Lalu di pasar obligasi apa yang menentukan harganya? Dasar umumnya
adalah bunga atau kupon yang melekat pada obligasi itu. Maka jika kita
menggunakan penghitungan berbasis konsep future value of money akan
sangat mudah ditentukan berapa harga yang fair dari sebuah surat utang
atau obligasi, coba cari di Google apa maksud konsep future value of money ini. Namun, penghitungan ini akan bisa diterapkan kepada obligasi yang berisiko nol (risk free),
dalam praktiknya satu-satunya surat utang yang bebas risiko adalah SUN
alias Surat Utang Negara (di negara lain tentu saja punya nama yang
berbeda, misalnya US dengan treasury bond-nya, bahasa inggris obligasi adalah “bonds”, jadi kalau James Bond apa yang maksudnya? :P).
Namun demikian, obligasi ini tidak hanya dikeluarkan oleh negara
saja, perusahaan pun bisa mengeluarkan instrumen keuangan ini. Nah,
seiring perkembangan jaman dan dunia finansial sangat berkembang pesat,
obligasi-obligasi ini akhirnya turut diperdagangkan juga layaknya
saham-saham perusahaan di pasar saham (obligasi dijual di “pasar
obligasi”). Maka jika saham sebuah perusahaan memiliki rate maka obligasi pun juga demikian.
Satu perusahaan dengan perusahaan lain punya kekuatan keuangan yang
berbeda-beda. Nah, inilah yang akhirnya yang menjadi bobot penilaian
atas rating surat-surat berharga yang mereka miliki baik dalam bentuk
saham ataupun obligasi. Bayangkan bahwa obligasi adalah sebuah kertas
belaka yang di atasnya adalah pernyataan bahwa perusahaan A telah
berutang pada Mr. B sebesar sekian. Sekilas Mr.B terlihat kaya karena
iya memiliki obligasi perusahaan A, tapi jika ditelusuri ternyata
perusahaan A adalah perusahaan fiktif, maka akan sangat menyesal sekali
jika ada seseorang yang membeli obligasi dari mr. B ini. Ini namanya
obligasi bodong!
Sama halnya dengan kasus Aulia, Rachman dan Alfahmy. Alfahmy menilai
bahwa obligasi Aulia itu nilainya lebih rendah dari Rp50.000. Mengapa?
Karena reputasi Aulia dalam berutang sudah terbukti buruk. Memang iya,
si Alfahmy akan menerima Rp50.000 juga kelak dari Aulia. Tapi usaha
untuk membuat si Aulia yang gemar berutang ini untuk membayar utangnya juga menimbulkan
biaya dan pengorbanan, mulai dari pengorbanan waktu, bensin hingga
pengorbanan perasaan. Setelah Alfahmy hitung-hitung dalam kepalanya,
nilai obligasi Aulia yang dipegang Rachman tidak lebih dari Rp25.000
saja. Maka benarlah si Alfahmy yang sangat cerdas ini bahwa Rachman
tidak boleh semen-mena memaksa dia membeli obligasi itu. Adapun Rachman
yang sudah terlanjur memberi pinjaman kepada Aulia dengan terburu-buru,
menurut Alfahmy itu adalah “salah” Rachman sendiri.
Mungkin, bagi Rachman memberikan utang adalah bentuk amal ibadah dan
tolong menolong tanpa memandang siapa yang berutang, toh semua akan
mendapat balasan dari Allah SWT. Dia tidak menggunakan itung-itungan
rumit ala Alfahmy. Sebaliknya, Alfahmy yang punya dasar berpikir ekonomi
yang kuat dan sedikit condong ke arah prinsip dagang yang adil, hanya
berpegangan bahwa dalam berdagang tidak boleh ada paksaan dan tidak
boleh ada yang dianiaya.
Semua sama-sama benar. Wallahu alam bishawab
Jogja 1 Oktober 2012
0 Komentar:
Posting Komentar
Silahkan memberikan komentar yang lebih gila...