Senin, 12 Maret 2012

Kapitalisme dan Ekonomi Pasar yang Membingungkan Rakyat


Oleh: Ekonudin Islam

Masih segar dalam benak semua orang berita di media masa mengenai prestasi ekonomi Pemerintah pada akhir tahun 2011 yang lalu. Walaupun pada saat itu kondisi geopolitik global sama seperti saat ini, dimana krisis nuklir Iran mengancam melambungkan harga minyak dan krisis Eropa yang menenggelamkan pertumbuhan ekonomi zona Eropa, namun fokus pemberitaan saat itu dibuat menjadi sangat manis dan membius sesaat.

Pada bulan desember 2011, harga minyak telah melampaui US$ 98.00 per barrel, dan minggu ke dua bulan Maret 2012 harga masih berkisar di US$ 106.00, yang masih jauh dari harga pada bulan Juli 2008 yang mencapai angka diatas US$ 145.00 per barrelnya.

Issue utama domestik saat ini bukanlah seberapa tinggi dan secepat apa harga minyak akan naik, namun lebih kepada seberapa besar harga bahan bakar akan dinaikkan oleh Pemerintah, dan kapan akan dilaksanakan. Bila dilaksanakan, apa kompensasi yang akan diberikan kepada rakyat miskin, karena rakyat sudah sering mendengar janji dari para penguasa bahwa mereka sangat peduli pada rakyat miskin dan ingin sekali mensejahterakan masyarakat akar rumput.

Kesejahteraan masyarakat adalah isue utama yang selalu dikumandangkan Presiden (SBY). Dalam kondisi ekonomi yang sama seperti ketika SBY menjalankan pemerintahan bersama Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) jilid 1, dimana harga minyak dunia melambung melampaui target APBN, maka dengan persetujuan DPR Pemerintah sudah pasti harus menerapkan kenaikan harga BBM.

Namun sedikit berbeda dengan program yang dijalankan oleh KIB jilid 1, selain kenaikan harga, dalam program saat ini Pemerintah akan juga menerapkan pembatasan pengguna BBM bersubsidi dengan program konversi BBG bagi kendaraan roda empat. Rencana program tersebut dituduh tidak pro rakyat.

Dalam situasi ekonmi politik yang bergejolak, dimana korupsi dari para pejabat Pemerintah dan wakil rakyat di DPR sudah menggila diluar nalar manusia normal, keberpihakan Pemerintah pada masyarakat luas (terutama masyarakat akar rumput) menjadi pertanyaan yang tidak pernah dijawab melalui tindakan, melainkan dijawab dengan retorika.

Misalnya, dalam suatu ceramah umum, SBY mengatakan:

"Saya meyakini dan memilih jalan tengah barangkali itu yang cocok bagi Indonesia. Di satu sisi kaidah efisiensi pasar penting, tetapi peran dan intervensi pemerintah tetap diperlukan."

Banyak pihak yang menganggap bahwa alternatif ekonomi yang diajukan SBY ini hanya sebagai jawabannya, yang menampik tudingan bahwa administrasi pemerintahan SBY-Budiono ini adalah administrasi yang mengacu pada pola ekonomi kapitalis ‘neolib.’ Dalam mekanisme neolib, kedok ‘efisiensi’ dalam perekonomian berorientasi pada maximum gain dan maximum satisfaction, dan bila benar, paham tersebtu menjunjung paham liberalisme yang beroperasi melalui laissez-faire, yang menihilkan peran pemerintah diatas kepentingan suasta. Kebebasan pasar yang dijunjung tinggi ini membuka jalan daulat pasar menggusur daulat rakyat dimana dipercaya bahwa kemiskinan hanya merupakan efek logis dari suatu keniscayaan ekonomi (dalam istilah perang dinyatakan sebagai collateral damage).

Tidak terlalu jelas apakah ekonomi jalang tengah versi SBY ini diadopsi dari pemikiran Anthony Giddens yang dituangkan dalam bukunya ‘The third way,’ atau dimodifikasi dari pandangan ‘ekonomi kerakyatan’ yang telah lebih dahulu dikumandangkan oleh saingan politik SBY-Boediono saat kampanya lalu, yaitu Mega-Prabowo.

Berkaitan dengan konsep ‘The third way,’ unsur utamanya menurut Giddens adalah: sadar akan peran aktif masyarakat, komitment pada kesetaraan peluang, menjunjung tinggi beban tanggung jawab, dan mempromosikan akuntabilitas pelaksanaan. Akan halnya ekonomi kerakyatan, ciri utamanya adalah: bertumpu pada mekanisme pasar dengan prinsip persaingan yang sehat, keadilan serta kepentingan sosial, pembangunan berkelanjutan, kesempatan yang sama, perlindungan yang adil bagi seluruh rakyat.

Hak dan Kedaulatan Rakyat

Ketika Indonesia merdeka, para pemimpin bangsa sadar bahwa kesejahteraan bersama harus diciptakan melalui mekanisme yang terwujud dalam Undang Undang Dasar 1945, yang dicantumkan pada bab 14 pasal 33 dan 34. Setelah habisnya periode Orde Baru, maka UUD’45 mengalami penyesuaian dimana kesejahteraan ekonomi yang tertera pada bab dan pasal tersebut diatas, mengalami penyesuaian dan penajaman.

Menilik kapitalisme dan ekonomi pasar, tidak ada yang salah dengan konsep dasar dari paham ekonomi tersebut, yang saat ini dianut dan dijalankan oleh hampir seluruh negara di dunia ini. Rakyat yang memiliki modal dan/atau keterampilan, dapat masuk ke pasar bebas dengan memanfaatkan keunggulannya yang pada akhirnya akan menonjol dibandingkan dengan masyarakat lain yang memang tidak terlalu menonjol, ataupun lebih tertarik pada pengembangan sosial.

Seperti kata Hashim S. Djojohadikusumo:

“Saya kapitalis, suka uang, kenapa membantah. Saya menjadi pengusaha untuk jadi kaya kok. Itu mulia. Kita harus bangga juga.” (BI 1/3/12)
Semenjak era administrasi Soeharto, secara prinsip, aktifitas ekonomi dijalankan berlandaskan azaz yang tertera didalam UUD’45. Ketika pemerintah orde baru menjalankan doktrin ekonominya yang dikenal dengan Widjojonomics (dinamakan dari Alm. Prof. Dr. Widjojo Nitisastro), yang dilanjutkan dengan Habibienomics (program lompatan teknologi), yang akhirnya harus menghadapi kenyataan pahit dalam krisis moneter 1998, landasan dasarnya adalah ekonomi Pancasila. Walaupun konsep itu menitik beratkan pada kesejahteraan rakyat banyak dan keadilan sosial, tetap tetap mengacu pada ekonomi pasar yang melibatkan Pemrintah sebagai regulator yang menyeimbangkan pasar.

Seluruh metoda ekonomi yang disebutkan itu, termasuk pemikiran ‘jalan tengah SBY,’ mengacu pada mekanisme kapitalisme dengan pasar bebasnya. Harga BBM naik, jelas akan sangat memberatkan rakyat. Namun dalam suatu sistem ekonomi yang bersih, rakyat akan sangat dapat diajak berdialog dan mengerti serta mendukung realitas ekonomi, seberapapun konsekuensinya. Rakyat tidak dapat mengerti bila mereka harus menderita, sementara segelintir manusia berpesta pora diatas kontraksi ekonomi. Bila hal itu yang terjadi, kapitalisme dan retorika ‘jalan tengah’ tidak akan pernah dimengerti oleh rakyat.

Pencerahan

Author & Editor

Has laoreet percipitur ad. Vide interesset in mei, no his legimus verterem. Et nostrum imperdiet appellantur usu, mnesarchum referrentur id vim.

0 Komentar:

Posting Komentar

Silahkan memberikan komentar yang lebih gila...