Oleh: Ardhi Hiang Sawak
Banyak
menyarankan kalau nanti sudah kuliah, jangan lupa untuk ikutan berorganisasi.
Karena IPK katanya hanya mengantarkan pada meja wawancara, tetapi nanti yang
mengantarkan kita ke meja direktur, ya, pengalaman kamu dalam berinteraksi
dengan orang. Memang, pendapat seperti ini tidaklah salah, malah bisa dikatakan
benar. Karena banyak sekali pengalaman juga yang telah mengatakan demikian,
bahkan ayahku saja berkata demikian, karena beliau juga punya pengalaman
mengenai hal ini.
Nah, sekarang yang menjadi duduk
persoalan adalah bagaimana budaya kita dalam mengatur organisasi mahasiswa
tersebut ketika sudah kuliah dan memiliki organisasi yang diikuti. Banyak yang
akan kita rasakan, mulai dari hal yang biasa sampai yang luar biasa. Berterima
kasihlah pada pak dekan karena kita telah diizinkan untuk berorganisasi, terima
kasih pak.
Dalam kehidupannya, para mahasiswa
aktivis kampus akan juga dihadapkan dengan banyak kegiatan dalam proses manajemen,
dari planning, organizing, budgeting, controlling, hingga evaluating. Dari
sekian proses tersebut, para mahasiswa ini pasti akan dihadapkan kepada proses
membuat anggaran. Jangan bayangkan membuat anggaran mahasiswa akan serumit dan
sekonfrontatif pembuatan anggaran di ruang badan anggaran DPR RI, sebuah ruang
keramat bagi kelangsungan hidup bangsa. Dijamin mahasiswa tidak akan dibuat
terlalu pusing dan sekelumit itu, karena semangatnya kan untuk belajar, walau
belajar tapi tetap harus menjaga nilai-nilai moral pastinya.
Mahasiswa dituntut untuk membuat
anggaran sebaik mungkin demi terwujudnya sebuah program kerja yang baik dan
sukses. Mereka diminta untuk memprediksi dan memperkirakan berapa uang yang
akan dikucurkan demi berlangsungnya sebuah program. Para kakak seniornya akan
mengajarkan bagaimana mereka untuk mendesain sebuah anggaran. Pertama, tentang
cara untuk menyesuaikan ide dengan dana, lalu yang penting adalah bagaimana
untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, disini, pasti jurus dari
gunung sebelah barat akan mengajarkan yang sering kita sebut dengan dana
“Mark-Up”.
Risk averse adalah sebuah sikap yang
diajarkan juga di mata kuliah manajemen, bagaimana sikap ini dalam menghindari
yang namanya resiko. Lalu para senior akan mengajarkan kepada juniornya untuk
membuat dana “mark-up” agar resiko yang tidak diharapkan bisa ditanggulangi
dengan dana ini. Terdapat semangat yang mulia disini, untuk mengajarkan para
aktivis muda agar selalu berhati-hati, tetapi berbahaya jika itu dilakukan dengan
salah.
Banyak kasus yang saya temukan
seperti melakukan mark-up terlalu tinggi. Padahal di manajemen kita diajarkan
untuk melakukan budgeting seefektif mungkin dan serealistis mungkin, karena
kita memiliki kendala, yakni dana. Hal ini bisa dikatakan sebagai siklus atau
memang hanya kesengajaan dari pihak tertentu dalam melakukan anggaran.
Bayangkan jika hal ini terus berlanjut sampai nanti mahasiswa tersebut beranjak
dewasa dan duduk menjadi orang-orang penting. Mungkin sampai sekarang, kasus
korupsi paling banyak adalah tentang pengadaan barang, ada hubungannya mungkin
dengan praktek ini, tapi siapa sangka, tidak ada yang tahu bukan.
Sudah sewajarnya dan sepantasnyalah mahasiswa melakukan
budgeting sesuai dengan kebutuhan, daripada nanti terdapat banyak uang terbuang
karena mrak-up berlebihan dan sudah seharusnya semangat untuk efisiensi
anggaran kita budayakan, mengingat tentang budaya efisiensi, barang siapa yang
bisa efisien, ya cepat majunya. Toh, mahasiswa buat acara bukan untuk profit,
tapi nilai apa yang harus ditanamkan pada acara-acara mahasiswa.
***
NB: Source pict: masternewsmedia.org
0 Komentar:
Posting Komentar
Silahkan memberikan komentar yang lebih gila...