Aksi
Manusia diciptakan untuk bersenang-senang.
Kalau sadar, rasa senang oleh umum dikaitkan dengan suatu aksi.
Kalau aksi kaya' gini ?
Mmmm... dirasa aja,
Sebagai pelaku aksi, sebelum dan setelah momen itu rasanya gimana ?
Terus para penerima aksi bakal ngerasa gimana ?
lalu para saksi mata bakal ngerasain apa ?
Teknologi
Teknologi adalah katalis dan multiplier bagi akibat dari suatu aksi.
Beberapa klik dan ketik dari Sang Ibu Jari dapat meluncurkan jutaan rasa dan emosi, dari pikiran maupun hati.
Momen sebelum dan saat bulan puasa kemarin, Saya dapat pelajaran:
Adalah se-jiwa muda (kita sebut Tuan De) yang memberi kritik keras melalui media sosial atas tindakan jiwa muda lain (kita panggil Bos Cr) yang mengunggah penampakan sebuah mobil agak mahal nan baru, lengkap disertai kalimat2 euphoria nan girang, pada medsos yang sama.
Tuan De menganggap aksi berkategori "riya" aka pamer dari Bos Cr amatlah kampungan dan tidak patut ditiru. Kritik Tuan De nyata menjaring dukungan dari jiwa-jiwa lain sementara Tuan Cr memilih memberi reaksi tawa dan lanjut menikmati mobil barunya di dunia nyata.
Momen pembelajaran di atas sontak mengingatkan saya atas opini yang beredar soal sedikitnya duit yang muter di masyarakat, sementara PMN & dan proyek2 konstruksi belum terasa trickle down effect-nya.
Beruntungnya, Indonesia punya Pak Rhenald Kasali, menciptakan artikel berikut,"Ketika Indonesia Dilanda Pesimisme." Dengan bagian vital sbb:
Dalam era social media, pesimisme amat cepat menular. Ia bisa menjadikan suatu bangsa kalah, karena mereka memilih bertengkar, tak sabaran menunggu rebound.
Saya meyakini, opini selain dari dalam diri, jauh lebih berisiko dan belum tentu akurat dalam menghadapi sifat eksklusif dan kompleks dari setiap momen. Maka adalah vital bagi manusia untuk bisa merasa dan memahami bahasa hatinya sendiri.
Nah, tapi, apa mungkin hidup tanpa menerima saran, nasihat, ataupun omongan dari orang lain ?
Padahal interaksi adalah hal dasar penjamin kesehatan manusia tohk...
Mau beda ? Atur ulang
Kalimat di atas ngembat dari lagu si Miles Kane, yang berjudul Rearrange.
Mau membenahi aksi, kudu bermula dari yang dalam dulu.
Contoh filosofi aplikatif dari idola saya,
"what others do and do not do is not my concern , what i do and do not do is my only concern."
Kalau dia... di kala orang lain diharuskan duduk menghadapi naik dan turunnya hidup dengan gerak perut terbatas atau malah terikat, dia menyegarkan suasana dengan lebih mampu berdiri tegak, berjalan anggun, tersenyum indah sambil membantu orang banyak. Hebat.
Yang paling aplikatif ya kerelaannya ngasih advis di jam-jam ajaib tanpa memungut bayaran.
Salut, salut,
Imbalan surganya menyusul ya ci, hehehehhe
Sementara kalau Saya, demi "e&e" (efektif dan efisien), mengukur atau menimbang kadar energi positif dan negatif dari suatu aksi tidaklah perlu.
Timbun saja energi positif dalam kepala dan hati agar kita kita menarik energi positif semaksimal mungkin.
Lalu saat interaksi dari berbagai jiwa itu datang, anda cuma akan fokus ke yang positifnya.
Jadi pas ketemu jiwa yang berbahagia ya lo ikut bahagia, pas ketemu jiwa berenergi negatif ya lo stay positive.
So....
Apalagi alasan guna beraksi laksana Tuan De ?
Mau nambahin beban di otak ?
Memicu penyusutan cinta di hati ?
atau berniat mengurangi aset momen bahagia kita dengan jiwa lainnya ?
Coba dirasa lagi,
aksi Bos Cr bila dilihat dari berbagai sisi yang beda, dengan visi berazaskan masa depan dan dilandasi niat bertanggung jawab, maka pandangan kurang menyejukkan atas aksi Bos Cr bisa jadi hanyalah ilusi, buah penumpukan energi negatif pada diri penerima aksi dan saksi mata sendiri !
Karena jika dilihat dengan mata yang tepat, setiap aksi mengandung banyak potensi positif di masa depan, asal bermodal niat positif di momen sekarang, dan legawa melupakan dan melepaskan momen yang lampau.
Sumber gambar:
the different
running no
into the sky
Ki Sakti emang joss !!!
BalasHapus