Kamis, 16 Juni 2011

Curcol seorang Franchisee

Pembahasan franchise pertama kali di EG (Ekonom Gila) dari customer view, saya balas. Sebagai seorang franchisee, saya mau kasih view juga... *Hadeh hadeh... nggak mao kalah ternyata Tante! wakakakaka...

Well, tanpa berniat promosi, diskriminasi, atau indikasi lainnya, saya di sini hanya pengen berbagi aja. Saya memutuskan untuk memulai petualangan sebagai seorang pengusaha muda (masih muda dong coy!) dengan membeli sebuah franchise bubble drink, secara saya suka banget jenis minuman tersebut. Benar kan sesuai dengan minat kita dong, masa iya jualan bubble drink tapi nggak suka bubble drink.

Nah, di artikel ini saya akan ulas sedikit tentang konsep franchise, kenyataan di lapangan (sekaligus menjawab customer view), dan hal-hal yang harus diperhatikan dalam usaha franchise (hiks... belon balik modal masih dalam perjuangan!)

Makhluk Bernama FRANCHISE

Hare gene sih udah pada akrablah dengan yang namanya franchise. Tapi ini kebiasaan saya sih... xixixi... maaf ea saya mau nampilin apa definisi yang tepat untuk makhluk bernama FRANCHISE.

Menurut Asosiasi Franchise Indonesia, yang dimaksud dengan Franchise (Waralaba) ialah:
Suatu sistem pendistribusian barang atau jasa kepada pelanggan akhir, dimana pemilik merek (franchisor) memberikan hak kepada individu atau perusahaan untuk melaksanakan bisnis dengan merek, nama, sistem, prosedur dan cara-cara yang telah ditetapkan sebelumnya dalam jangka waktu tertentu meliputi area tertentu.

Kenyataan yang Dihadapi

Bisnis waralaba yang saya pilih termasuk meringankan franchisee, hmm... saya juga sempat berpikir bahwa bisnis ini tidak dapat 100% disebut sebagai franchise sih. Garis besarnya begini: cukup beli satu kali (beli putus), nggak usah bayar royalti dan nggak ada masa berakhir waralaba, tapi supply bahan baku utama tetap berasal dari franchisor. Untuk franchise bubble drink tersebut, saya beli 3 juta sudah termasuk merek, starting pack untuk 100 produk jadi, perlengkapan dan peralatan (kecuali booth). Seterusnya, saya wajib beli bubble mentah, sirup, dan creamer dari franchisor, sementara gula, es batu, gelas, dan sedotan tidak. Selanjutnya sih, franchisor saya itu bertindak sebagai supplier saya kan, nah di situ agak bingung juga sih, sebenarnya dia itu buka franchise untuk cari customer bahan baku ya? <- isi hati T.T

Tidak ada kewajiban harus menjual item-item yang mana saja, misalnya: rasa coklat, vanila, duren, cola, atau rasa apapun (ada 40 lebih rasa). Semuanya terserah kepada saya mau pesen barang dan jual bubble rasa apa. Mau pake bubble apa nggak juga kayaknya nggak dipantau. Sehingga saya sih senang-senang aja, mau jualan es teh dan minuman-minuman lain sekalian dengan packing-an seperti bubble drink. Bahkan, sudah lama nggak order juga nggak masalah. Abis starting pack blom laris... xixixi... kurang keras usahanya ene. (Begitu loh Dwi, makanya nggak ada standar, abis untuk menerapkan standar juga franchisor memaklumi kondisi franchisee yang merupakan UMKM)

Untuk harga jual, dibebaskan mau menjual dengan harga berapapun. Sebab daya beli pasar dan ongkos kirim untuk produk (walaupun harga dasar produk sama) berbeda-beda. Untung atau rugi akibat strategi harga sepenuhnya menjadi milik franchisee. Apalagi kalau franchise dengan merek yang sama ada di deket-deket kita, siap-siap dah customer berpindah kan? Bisa juga berpindahnya ke produk substitusi lain (Dwi menyebutnya karena tipe produk elastis).

Hal-hal yang Harus Diperhatikan

Sebelum terperosok dalam lubang yang sama (seperti saya!) perhatikanlah hal-hal berikut:
  1. Ide usaha. Usaha yang dapat sukses tentunya berasal dari analisis terhadap pasar yang mantap, nah... jangan beli franchise dulu baru cari pasar, melainkan sebaliknya ada pasar dulu baru beli franchise yang kita anggap cocok. Dan jangan terpuruk dengan kan-yang-penting-saya-suka seperti saya.
  2. Pertimbangkan franchise atau bikin sendiri. Franchise menawarkan kepraktisan dalam hal produk, image, dan peralatan, yang kita dapatin 1 paket, tetapi kesuksesan usaha tetap berada di tangan pengusaha yang menjalankan. Kalau memang bisa menghasilkan produk, image, dan nggak susah cari peralatan usaha sendiri, nggak usah beli franchise. Semuanya tergantung dari kita yang ingin menjalankan usaha. 
  3. The Power of Quantity. Mengulang yang pernah dituturkan Dwi, usaha franchise dalam konteks makanan/minuman ringan ini bertumpu pada kuantitas (the power of quantity). Pastikan tempat untuk booth sangat strategis, pikirkan juga untuk tetap buka di hari libur. Harga yang kompetitif sehingga margin keuntungan menjadi lebih kecil sudah pasti. Kuncinya, penjualan harian yang tinggi. Yang lebih menggiurkan lagi, saat saya mengunjungi franchisor saya sebelum memutuskan untuk menjadi franchisee, ia membimbing saya untuk membayangkan betapa besar keuntungan bila punya 2,3,5, dan seterusnya outlet. Wow! Ini poin kedua untuk perihal the power of quantity.
  4. Realistis. Franchise menggiurkan karena sudah jelas produk, image, peralatannya. Transfer uang dan barang sampai, udah bisa berjualan dan making money. Disimulasikan, sekian bulan bisa balik modal, tapi cobalah realistis, apakah pasar yang akan kita gerogoti sama dengan yang disimulasi. Buatlah perhitungan sendiri. 
  5. Jangan takut gagal. Yang termanis adalah saya pernah mencobanya dan bangga atas semua usaha yang telah saya lakukan, walaupun secara finansial (masih) tidak tampak kesuksesannya, tapi skill nambah. Yaaa... intangible sih, tapi percayalah banyak pelajaran hidup yang dapat dipetik. 

- Sekian dari ekonom yang sedang jatuh bangun - 

Olivia Kamal

Author & Editor

Has laoreet percipitur ad. Vide interesset in mei, no his legimus verterem. Et nostrum imperdiet appellantur usu, mnesarchum referrentur id vim.

2 Komentar:

  1. Wow, nice psting, I like this =)

    BalasHapus
  2. thank's aang... long time no see... tetep ikutin artikel ekonom gila kan? bbrp hari lagi ada yg mau aku postingan, guess u might like that one very much ;)

    BalasHapus

Silahkan memberikan komentar yang lebih gila...