Tampilkan postingan dengan label gaji. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label gaji. Tampilkan semua postingan

Selasa, 22 September 2015

Gaji Anda Kecil dan Merasa Kurang? Baca Cerita Ini

sumber gambar: http://buruhmigran.or.id/

Seorang yang sedang mengalami kesulitan keuangan mendatangai Imam Syafi’i dan mengadukan krisis finansial yang dialaminya. Ia bekerja sebagai buruh dengan gaji lima dirham. Dan gaji itu tidak mencukupi kebutuhannya. Harga sembako terus merangkak naik. Upahnya habis untuk “basa-basi”. Bayar sana, bayar sini.

Setelah mendengar keluh-kesah orang itu, sang imam memberikan saran yang aneh. Imam Syafi’i justru menyuruhnya untuk menemui bos-nya dan meminta pengurangan gaji menjadi empat dirham!.

Koq aneh sih? Wong lagi krisis ekonomi koq malah disuruh nyunat gaji sendiri? Harusnya nyuruh demo naik gaji donk! Tapi karena ini nasihat dari orang sholeh, orang itu pun pergi melaksanakan perintah Imam Syafi’i meskipun dia tidak paham apa maksud dari perintah itu.

Setelah beberapa lama kemudian orang itu kembali datang menemui Imam Syafi’i dan mengadukan kehidupannya yang tidak kunjung mendapat kemajuan. Lalu Imam Syafi’i memerintahkannya kembali untuk mendatangi orang yang telah mengupahnya dan meminta majikannya untuk mengurangi gajinya (lagi), menjadi tiga dirham!

Lelaki ini Cuma bisa geleng-geleng kepala. Hidup sudah susah, ini diminta untuk hidup semakin susah. Mengencangkan pinggang Jennifer Lopez yang bahenol sih enak, lha ini mengencangkan pinggang sendiri yang sudah kurus kering! Tapi lagi-lagi orang itu pun pergi melaksanakan anjuran Imam Syafi’i dengan membawa perasaan keheranan bercampur rasa pasrah.

Beberapa hari kemudian orang itu kembali datang menemui Imam Syafi’i dan mengucapkan terima kasih atas nasihatnya yang tidak biasa. Dia bercerita, bahwa tiga dirham yang dia dapatkan justru bisa menutupi seluruh kebutuhan hidupnya, bahkan sekarang hidupnya menjadi lapang.

Dia bertanya, “Ada rahasia apakah di balik semua itu?”

Imam Syafi’i menjelaskan bahwa pekerjaan yang dijalaninya itu tidak berhak mendapatkan upah lebih dari tiga dirham. Dan kelebihan dua dirham itu telah “mencabut” keberkahan harta yang dimilikinya ketika tercampur dengan harta yang lainnya. Sang Imam lantas mengutip sebuah sya’ir:
“Dia kumpulkan yang haram dengan yang halal supaya harta itu mejadi banyak. Yang haram pun masuk ke dalam yang halal lalu harta itu merusaknya”.
Gaji dan Kepuasan Kerja

Cerita diatas saya ambil dari Talking in The Heaven karya Agus Setiawan dan Faisal Kunhi. Pesan moralnya sederhana: gaji bukanlah tolak ukur "keberkahan" sebuah pekerjaan. Ada orang gajinya puluhan juta yang kerjaannya cuma datang rapat, duduk, diam, bergaya interupsi sana-sini, pake "nyambi" jadi tersangka korupsi, eh masih beralasan gajinya kurang.

Tapi ada juga pahlawan yang mengabdi di pelosok negeri. Statusnya bukan pegawai negeri. Tunjangannya minim sekali. Tanpa fasilitas disana-sini. Dan mereka melakukannya sepenuh hati tanpa mengharap balasan suatu hari nanti. Mereka mengerti: rezeki Tuhan tak mesti berbentuk materi.

Dalam studi manajemen, gaji memang berkorelasi dengan kepuasan kerja. Tapi tidak selamanya linear. Penelitian yang dilakukan oleh Daniel Kahneman (2010), salah satu peraih Nobel ekonomi menunjukkan angka USD 75,000 adalah batasnya (untuk kasus Amerika). Jika pendapatan Anda dibawah 75rb dollar setahun, maka gaji adalah segalanya. Tapi jika Anda memiliki pendapatan diatas 75rb setahun (US dollar ya cuk, bukan IDR), maka “there’s something that money can’t buy”, dan Anda akan melakukan sesuatu bukan hanya semata-mata karena uang.

Berapa “angka pendapatan sehingga otak kita ga cuma mikir duit” di Indonesia?

Karena nilai 75rb USD sekitar 2x pendapatan perkapita, dan rata-rata pendapatan perkapita Jakarta adalah 135 juta, maka angka 270 juta adalah masuk akal. Artinya jika pendapatan kita selama setahun kurang dari 270 juta (22,5 juta per bulan), maka sangat wajar jika kita menjadi manusia mata duitan dan rela panas-panasan untuk berdemo dari pagi sampai sore hari demi kenaikan gaji.

Tapi daripada berorasi dan menutup jalan yang ujungnya malah bikin hidup orang lain susah, yang wajib kita lakukan adalah "memantaskan diri" untuk dibayar mahal. Dengan menciptakan nilai tambah yang bisa membantu dan mempermudah hidup orang lain.

Dan jika gaji Anda sudah puluhan juta dan kerjaan-nya cuma datang rapat, duduk, diam, sok interupsi sana-sini, jalan-jalan keluar negeri bawa family, sambil teriak-teriak minta kenaikan gaji, maka saran Imam Syafi’i diatas, patut untuk dicoba.

Jumat, 07 Juni 2013

Roundabout Roundabout



Ada yang kenal manusia di samping ? Ini gambar dari film Into The Wild,


isinya tentang kehidupan pasca wisuda seorang Chris McCandless.



Banyak orang komentar, film ini bener2 menggugah, tapi menurut saya si biasa aja. Saya tenang-tenang kuliah sehabis SMA dan seiring berjalannya waktu, film ini pun melapuk dan hilang dari ingatan. 
Sampai kira-kira 3 minggu yg lalu, film ini kembali muncul dan mengusik pikiran.
Pemicunya ada 2:
dp bbm temen & quotes dari dialog film tsb di tumblr (tuh quotes-nya ada di gambar di atas).
FYI, sebentar lagi saya lulus kuliah (setahun lagi sih :p)

Keberanian si McCandless untuk lepas dari hidup a'la peradaban modern memang menggugah.
Tapi itu tetap terdengar mustahil untuk saya. Pikiran saya jauh lebih tertarik menyoroti pandangan pendapat McCandless soal karier (liat gambar Emile Hirsch di atas), dan apa pemicu lahirnya pendapat tersebut.

Bicara karier, ingatan saya langsung lompat ke buku dibawah ini:
                                           Judulnya,"Your Job is Not Your Career". Buah karya Pak Rene Suhardono inilah yg pertama kali memperkenalkan saya perbedaan antara karier dan pekerjaan. 
Kalo saya gak salah, karier itu lebih mirip "alur jalan" atau "path", sedangkan pekerjaan adalah titik langkah yang dilalui selama meniti "path" tersebut.

Buku itu juga sukses menjabarkan soal passion. Sesuatu yang sepengertian Saya berarti:
Sesuatu yang sangat kita minati, hingga sering tanpa sadar kita latih dan pelajari secara mendalam. Jadi pendorongnya murni karena kita menyukai aktivitas / pekerjaan tersebut. 
Klimaks buku itu kalo saya gak salah, ketika kita sampai pada suatu titik, dimana passion itulah profesi kita (full time job)
Saya gk tau bener gk itu yg dimaksud sebagai pesan dari penulis buku itu. Abis bacanya udah lama bgt si, hehehehe...

Setelah buku itu, pikiran saya lompat ke sebuah analogi atas kehidupan rata-rata manusia, era sekarang:

Yup, 2 kata: rat race

Penjelasan soal istilah ini bisa didapat melalui komik dibawah ini:

tak ketinggalan curcol bernutrisi tinggi dari Bang Tyler Durden :

Kalo masih gak paham, berarti katro... atau mungkin, tanpa sadar 
anda telah sukses terjebak dalam "rat race".
(kok kalo selip dikit bisa mirip ama death race ya hehehehhe...)

Ok ok, cukup soal resensi dan testi soal buku dan film. 
Let's be original a little bit...

Setelah semua hal di atas, otak saya keinget sama kebijakan naiknya UMR Jakarta Desember lalu,
Waktu itu, saham Astra International terjun bebas saat isu mulai beterbangan dan penurunan terus terjadi sampai 2 hari pasca penetapan resmi aturan tsb.

Intinya pesan yg ingin disampaikan pelaku bursa saham adalah,
"Kami gk terlalu suka dengan hal ini."
Ok, lalu pikiran saya mencoba mengaitkan hal ini dengan inflasi,
langkahnya kira-kira begini:

> UMR: Batas bawah gaji bagi pemangku jabatan terbawah

>> UMR naik, pekerja (employee) yg misalkan tadinya udah ngurangin belanja karena gajinya gak cukup, akan kembali "menormalkan" / menaikkan pengeluarannya.
Atau semisal sang pekerja tidak merasa perlu "menormalkan" pengeluarannya, maka dia bisa nabung atau investasi.

>>> UMR naik, pengeluaran gaji naik, maka HPP (COGS) naik.

>>>> kalau gak ada reorganisasi operasi atau kenaikan harga jual / kuantitas penjualan, profit perusahaan (employer)  tergerus.

gini ilustrasinya:
Jadi, kalau:
-b2 naik
-c3 naik

Maka ada ada 2 skenario:
 -Skenario A: Perusahaan menaikkan harga jual, karena beban produksi meningkat (perusahaan enggan memangkas profit margin. (cost push inflation).

-Skenario B: Para pekerja memilih untuk menaikkan standar hidup, dus membeli lebih banyak barang & jasa (demand pull inflation).

Jadi, kalo bener b2 & c3 sama2 naik, ya sama aja bohong.
Kenaikan upah pekerja langsung terhapus sama kenaikan harga barang & jasa di pasar,
dan jikalau si pekerja sempat menaikkan konsumsinya,
dan hal seperti ini terjadi secara agregat
(rata2 pekerja melakukan hal serupa),
maka kemungkinan tingkat konsumsi para pekerja akan turun lagi,
karena permintaan yg meningkat akan berpeluang menaikkan harga.
(mempertimbangkan sedikitnya lahirnya produk baru atau lapangan pekerjaan baru).

Berhari-hari saya mikirin, berharap dan ngebayangin, saya bisa ketemu semacam bukti ilmiah soal kemungkinan terjadinya hal di atas...
Sampai akhirnya post Suhu Kongming88 ini muncul di kaskus:













Penjelasan dari Suhu Kongming88:
kolom pertama (FCRPI) nunjukin IHK (indeks harga konsumen) / tingkat harga barang & jasa di pasar
kolom kedua (FCWI) nunjukin labor price index. (upah pekerja)
walaupun gak sangat kuat, tapi korelasi keduanya positif
(Jika IHK naik, LPI ikut naik dan bila IHK turun, LPI juga turun.)

kenapa?

karena kenaikan biaya tenaga kerja memaksa produsen menaikkan harga jual produknya 
(cost push inflation).

Doooorrrr !!!!!
 Akhirnya datang juga hal yg saya tunggu-tunggu...
Lo tuh tinggal bener2 spesifik ngebayangin apa yg lu mau dapetin !
layaknya orang lagi ngebidik sasaran tembak !
Maka yg lo bayangin itu datang / terjadi di saat paling tak terduga...

Ok, back to the topic,
Kalo UMR aja naik, otomatis gaji pekerja2 di tingkat lebih atas juga ikut naik.
Minimal liat kalo pegawai negara naik gaji, pasti rame-rame (serentak bareng-bareng).

Jadi kalo udah kaya gini, masih relevankah mimpi dalam bentuk kalimat,
Kapan ya naik gaji ?
Malah, kalau Saya boleh usul, kalimat di atas bisa diganti dengan kalimat,
Kapan ya saya bisa berkontribusi lebih ?
Kapan ya saya bisa handle lebih banyak tanggung jawab ?
Kapan ya saya bisa lebih pintar ?
Saya kira semuanya kembali ke awal,
kalo mau karier yang asik,
ya harus punya kerjaan yang asik juga.

Bayangin gini, kalo di rat race, bentuk rodanya tu tegak ke atas kan
(cek gambar tikus yg ber-hustlin' ria di atas)
Roda tegak itu kan perlambang harapan si tikus akan naik dia ke anak tangga berikutnya, yg berati nominal gaji yg lebih tinggi, yang kemudian diartikan sebagai  level kehidupan / kesejahteraan / kebahagiaan yg juga lebih tinggi
Namun sayang seribu sayang, semua itu hanyalah sebuah ilusi...
dan bahkan bisa dibilang cuma imajinasi yg tercipta akibat kekurang pahaman atas proses terjadinya inflasi !

Selanjutnya, mau gimana ?

Ada pepatah bilang, merubah kerjaan gk semudah membalik telapak tangan,
Ya memang iya, Saya juga setuju,
makanya sebelum merubah kerjaan, coba rubah dulu itu isi pikiran...
Sekarang bayangin aja, kalo roda di rat race itu jatuh, runtuh, dan tengkurep kaya roundabout di bawah ini:


Maka praktis yang anda kejar ya cuma mempercepat putaran roundabout atau beratraksi melewati pegangan / rintangan yg ada (tergantung cara pandang anda ini sih ;) )
Inget aja rasa seru / excitement waktu main kaya ginian semasa kecil dulu.

Selanjutnya soal menggapai sesuatu yg lebih tinggi, atau memberi efek positig bagi lingkup yang lebih luas.
Ya... anggap aja  roundabout-nya berbentuk kaya' di bawah ini:


Jadi, selalu ada, yang harus dipanjat...

Soal apa dan gimana bentuk implementasi roundabout ini di alam kehidupan sadar anda,
Maka ada 1 hal yg harus anda temukan: passion.

Temet Nosce,-

Minggu, 11 Desember 2011

Uang Laki!



Oleh: Umi Gita
Sore itu, pada rapat bagian SDM kantorku, kepala bagian kami mengeluh tentang sikap seorang pegawai. Memang sudah menjadi kebiasaan, bila kami (bagian SDM) rapat rutin, pasti ada obrolan mengenai pegawai yang ‘bermasalah’ atau mengadu atau butuh perhatian ekstra. Dari masalah kedisiplinan, lari dari tanggung jawab, mengadu soal dokumen kepegawaiannya (seperti surat ijin cuti, dokumen pensiun dan naik pangkat dll) sampai soal keluarga, entah mau cerai atau kawin lagi.

Namun sore itu, keluhan kepala bagianku agak lain, karena sebenarnya yang diproteskan oleh pegawai tersebut itu buka kebijakan dari bagian SDM, melainkan dari bagian keuangan. Sebenarnya simpel saja, bagian keuangan itu memberlakukan sistem baru yaitu mentransfer tunjangan khusus pengelola keuangan negara (TKPKN) bagi pegawai kementerian keuangan yang diperkerjakan di kantor kami, ke rekening gaji masing masing pegawai tersebut.

“Lho, apa masalahnya sih Pak? Menurut saya itu hanya mengubah cara pemberian uang tunjangan saja, dan bagian keuangan sah sah saja memberlakukan sistem baru yang membuat kerja mereka lebih efisien.” Tanyaku.

“Nah itulah, secara sistem dan kebijakan tidak salah. Tapi menimbulkan dampak psikologis.” Jawab kepala bagianku. Kami semua yang berada dalam rapat itu cukup mengeryit dahi.

“Maksudnya Pak?” Tanya rekan kerjaku.

“Jadi pegawai itu protes ke saya dengan cukup keras begini: UANG TKPKN ITU UANG LAKI, TAU! KALO DITRANSFER KE REKENING GAJI, BINI GUE JADI TAU!” Kami semua melongo dan sedikit tertawa.

“Jadi selama ini, istrinya gak tahu kalau ada uang tunjangan itu?! Istrinya cuma tahu uang gaji aja?! Itu pegawai sudah bekerja dua puluh tahun lebih, Pak. Kasihan sekali istrinya.” Ungkap salah satu kepala subbagian di bagian SDM yang notabene juga Ibu-Ibu.

“Ya begitulah, dan itu menimbulkan persoalan rumah tangga mereka.”
“Jadi kita harus bagaimana, Pak?” Tanya rekan kerjaku yang lain lagi.

“Ya, saya sampaikan ke kepala bagian keuangan, dan biarkan mereka yang mengambil kebijakan. Bila memang potensi sosial lebih besar ya mau gak mau mungkin harus kembali ke sistem yang semula, tapi kalau gak, ya jalan saja terus.”

Aku terdiam. Sebegitu fatalnya kah dinamika psikologis yang timbul dari kebijakan kecil di tempat kerja? Dan sebaliknya, sebegitu hebatnya kah fenomena psikologis perseorangan untuk mengubah sistem tempat kerja?

Sebetulnya hikmah yang kutangkap dari kisah ini adalah bagaimana kita mengkomunikasikan pendapatan pada pasangan kita dalam satu rumah tangga. Apakah sulit untuk mengungkapkan berapa pendapatan kita pada suami atau istri kita?

Jangan jangan kesulitan itu terjadi karena sikap kita sendiri. Kita berprasangka pasangan kita akan mengambil semua pendapatan kita bila berterus terang mengenai seluruh pendapatan kita. Atau kita tidak memahami kebutuhan dan rencana keuangan pasangan kita, sehingga sikap kita itu membuat pasangan kita menyembunyikan sebagian pendapatannya.

Komunikasi dan saling memahami segala hal dalam kehidupan perkawinan, termasuk soal uang. Simpel memang, tapi pada prakteknya begitu sulit. Begitu banyak friksi friksi dalam rumah tangga yang memaksa seorang laki laki dan perempuan harus belajar dan belajar tiada henti untuk mencapai tiga suku kata: sakinah, mawaddah, warrahmah.

Toh saya yang secara de jure sudha lulus mata kuliah Konseling Keluarga dan Perkawinan (KKP) saja masih dinilai E secara de facto karena belum mengalami itu semua.
Jadi intinya tulisan ini apa sih?

Emmm…mungkin dapat disimpulkan kalau kegiatan ekonomi kita bergantung pada sikap dan perilaku kita. Kalau sikap dan perilaku kita baik, maka kegiatan ekonomi yang dihasilkan akan baik. Sikap dan perilaku kita ditentukan oleh kepribadian kita, maka jadilah pribadi yang baik.