Tampilkan postingan dengan label yogaps. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label yogaps. Tampilkan semua postingan

Senin, 08 Agustus 2016

Mental Block Investasi di Pasar Modal



Seorang teman penasaran tentang investasi saham yang saya lakukan. Koq kayaknya keren, bisa main saham kaya di pilem-pilem. Padahal harusnya investasi di pasar modal adalah sesuatu yang biasa aja. Mirip dengan investasi di emas, ternak, atau perkebunan. Cuma bedanya investasi di pasar modal adalah paper asset. Aset yang tercatat di kertas.

Saya jadi sadar jika investor individu di negara ini masih kecil. Per Februari 2016 baru ada 582.052 rekening. Dibandingkan dengan 250 juta penduduk negara kita, Itu berarti masih 0,2%, dan jauh tertinggal dari negara tetangga macam Singapura (30%) dan Malaysia (35%).

Koq bisa kecil amat sih? Menurut saya, ada beberapa mental block (mindset yang keliru) tentang investasi di pasar modal yang menghantui masyarakat kita. Saya coba mendaftar beberapa diantaranya:

“Saham itu bentuknya kaya apa? Apa Beda Pasar Modal dengan Pasar Senen?”

Banyak dari kita yang belum tahu apa itu saham, dan apa itu pasar modal. Padahal sebenarnya saham itu sederhana: bagian kepemilikan dari perusahaan. Dan pasar modal adalah tempat dimana perusahaan yang butuh modal (emiten) bertemu dengan orang yang punya modal (investor).

Zaman dulu katanya saham itu bertentuk kertas, macam sertifikat gitu. Tapi sejak perkembangan teknologi, saham hanya tercatat di rekening bursa seorang investor dan dia tak perlu menyimpan berlembar-lembar saham fisik. Enak kan, ga ribet kalo kebanjiran hehehe.

Sebagai pemilik kita akan dapat bagi hasil berupa deviden (klo untung). Dan enaknya di pasar modal, kita bisa memperjual belikan kepemilikan saham kita. Jadi jika awalnya punya saham di perusahaan tambang terus ngerasa bosen dan pingin punya saham di perusahaan telekomunikasi, ya tinggal dijual aja ke orang lain. Transaksi inilah yang menyebabkan harga saham naik turun kaya ingus.

 “Saham hanya untuk orang kaya! Aku mah apa atuh, Cuma serbuk gergaji di semesta ini”

Mindset yang sering menyerang kebanyakan dari kita: hanya orang kaya yang berhak berinvestasi. Nah sekarang pertanyaannya: “mereka berinvestasi karena kaya”, atau “mereka kaya karena berinvestasi”?

Padahal banyak banget saham yang harganya terjangkau. Contohnya MYOR (Mayora) yang per 7 Agustus dijual dengan harga 1.640 rupiah saja per lembar. Atau TLKM (Telkom) seharga 4.350. Jika suka otomotif bisa membeli ASII (Astra) di level 7.925 perak.

Nah bedanya untuk pembelian di pasar modal hitungannya lot bos. Zaman dulu 1 lot itu 500 lembar. Sekarang Cuma 100 lembar. Jadi 1 lot Astra Cuma 792.000 dan 1 lot Mayora hanya 164.000-an saja. Masih ngerasa kemahalan? Bisa cari yang dibawah harga 500 perak macam GIAA (Garuda) yang diperdagangkan di harga 470 rupiah per lembarnya. Beli gadget 5 juta aja bisa, masa beli saham 47 ribu ga mampu?

“Jangan invest saham, itu judi!”

Perlu diingat, harga saham di pasar bisa berubah-ubah dipengaruhi banyak faktor. Bisa laporan keuangan, proyeksi pertumbuhan ekonomi, krisis politik, sampai ulah spekulan. Karena sejatinya harga saham adalah proyeksi nilai dari sebuah perusahaan. Dan namanya juga valuasi, terus berubah sepanjang waktu.

Orang yang berpikir jika saham adalah perjudian seringkali lupa jika investasi mengandung risiko. Ketika kita berinvestasi pada ternak, kita berharap ternak itu bisa besar dan dijual dengan harga tinggi. Bagaimana jika ternak-nya ga gede2 karena kena penyakit?

Hampir sama dengan investasi di pasar modal. Kita berinvestasi di sebuah perusahaan dan berharap perusahaan itu menghasilkan keuntungan. Tapi jika ternyata rugi? Ya siap-siap harga saham kita turun.

“Saya bisa cepat kaya dan juga bisa cepat miskin”

Aduh bos, jangan menelan mentah-mentah informasi dari pilem Hollywood kaya Wallstreet atau Wolf of Wallstreet. Karena investasi itu ga seperti melihara tuyul instant. Bisa konsisten untung 20% setiap tahun sudah termasuk luar biasa. 

Investor terkenal dunia macam Warrent Buffet atau Meryl Lynch dikenal bukan karena membuat klien-nya bisa beli kapal pesiar dalam satu tahun seperti iklan MLM. Tapi keuntungan yang stabil selama 10-20 tahun. Untuk membatasi kerugian juga biasanya ada aturan cut-loss. Anda harus menjual saham itu jika nilainya terus turun. Besaran cut-loss tergantung kepada Anda, sang investor.

“Waduh saya kan sibuk, mana sempet belajar ilmu investasi yang njelimet”

Saya selalu ingat pesan Benjamin Graham guru Warren Buffet, untuk berinvestasi hanya dibutuhkan ilmu aritmatika sederhana. Anda ga perlu katam kalkulus, bikin model valuasi njelimet, atau melototin grafik sambil bergadang 7 hari 7 malam.

Karena sekarang semua informasi tersedia. Bahkan broker Anda sudah menghitungkan rasio-rasio keuangannya, memberikan historical data harganya, sampai memberikan rekomendasi pilihan sahamnya. Yang perlu kita lakukan sebagai investor hanyalah menggunakan akal sehat dan mengambil keputusan berdasarkan dua skill wajib: analisa laporan keuangan dan sedikit technical analysis.

Oke saya ingin berinvestasi di pasar modal. Harus Mulai Darimana?

Cukup datang ke perusahaan sekuritas resmi yang terdaftar di OJK. Mintalah dibuatkan dummy account dan cobalah berinvestasi secara virtual. Biasakan diri melihat istilah keuangan, daftar kode saham, pergerakan pasar, dan nikmati semua prosesnya.

Yang pasti kita harus belajar mindset seorang investor: tidak konsumtif, bersabar, dan melihat nilai di masa depan. Ga usah ikut-ikutan jika teman ganti gadget atau tetangga ganti baju (nanti dikira ngintip). Karena lebih baik jadi orang miskin secara penampilan tapi kaya secara laporan keuangan, daripada terlihat kaya secara penampilan tapi sebenarnya miskin secara laporan keuangan.

Setelah Anda yakin dan terbiasa, silahkan membuka rekening di bursa. Ga usah banyak-banyak, yang pasti make sure uang itu adalah disposable income (tabungan sisa) dan bukan hasil korupsi atau ngepet jadi babi.

Selamat berinvestasi.

Selasa, 22 September 2015

Gaji Anda Kecil dan Merasa Kurang? Baca Cerita Ini

sumber gambar: http://buruhmigran.or.id/

Seorang yang sedang mengalami kesulitan keuangan mendatangai Imam Syafi’i dan mengadukan krisis finansial yang dialaminya. Ia bekerja sebagai buruh dengan gaji lima dirham. Dan gaji itu tidak mencukupi kebutuhannya. Harga sembako terus merangkak naik. Upahnya habis untuk “basa-basi”. Bayar sana, bayar sini.

Setelah mendengar keluh-kesah orang itu, sang imam memberikan saran yang aneh. Imam Syafi’i justru menyuruhnya untuk menemui bos-nya dan meminta pengurangan gaji menjadi empat dirham!.

Koq aneh sih? Wong lagi krisis ekonomi koq malah disuruh nyunat gaji sendiri? Harusnya nyuruh demo naik gaji donk! Tapi karena ini nasihat dari orang sholeh, orang itu pun pergi melaksanakan perintah Imam Syafi’i meskipun dia tidak paham apa maksud dari perintah itu.

Setelah beberapa lama kemudian orang itu kembali datang menemui Imam Syafi’i dan mengadukan kehidupannya yang tidak kunjung mendapat kemajuan. Lalu Imam Syafi’i memerintahkannya kembali untuk mendatangi orang yang telah mengupahnya dan meminta majikannya untuk mengurangi gajinya (lagi), menjadi tiga dirham!

Lelaki ini Cuma bisa geleng-geleng kepala. Hidup sudah susah, ini diminta untuk hidup semakin susah. Mengencangkan pinggang Jennifer Lopez yang bahenol sih enak, lha ini mengencangkan pinggang sendiri yang sudah kurus kering! Tapi lagi-lagi orang itu pun pergi melaksanakan anjuran Imam Syafi’i dengan membawa perasaan keheranan bercampur rasa pasrah.

Beberapa hari kemudian orang itu kembali datang menemui Imam Syafi’i dan mengucapkan terima kasih atas nasihatnya yang tidak biasa. Dia bercerita, bahwa tiga dirham yang dia dapatkan justru bisa menutupi seluruh kebutuhan hidupnya, bahkan sekarang hidupnya menjadi lapang.

Dia bertanya, “Ada rahasia apakah di balik semua itu?”

Imam Syafi’i menjelaskan bahwa pekerjaan yang dijalaninya itu tidak berhak mendapatkan upah lebih dari tiga dirham. Dan kelebihan dua dirham itu telah “mencabut” keberkahan harta yang dimilikinya ketika tercampur dengan harta yang lainnya. Sang Imam lantas mengutip sebuah sya’ir:
“Dia kumpulkan yang haram dengan yang halal supaya harta itu mejadi banyak. Yang haram pun masuk ke dalam yang halal lalu harta itu merusaknya”.
Gaji dan Kepuasan Kerja

Cerita diatas saya ambil dari Talking in The Heaven karya Agus Setiawan dan Faisal Kunhi. Pesan moralnya sederhana: gaji bukanlah tolak ukur "keberkahan" sebuah pekerjaan. Ada orang gajinya puluhan juta yang kerjaannya cuma datang rapat, duduk, diam, bergaya interupsi sana-sini, pake "nyambi" jadi tersangka korupsi, eh masih beralasan gajinya kurang.

Tapi ada juga pahlawan yang mengabdi di pelosok negeri. Statusnya bukan pegawai negeri. Tunjangannya minim sekali. Tanpa fasilitas disana-sini. Dan mereka melakukannya sepenuh hati tanpa mengharap balasan suatu hari nanti. Mereka mengerti: rezeki Tuhan tak mesti berbentuk materi.

Dalam studi manajemen, gaji memang berkorelasi dengan kepuasan kerja. Tapi tidak selamanya linear. Penelitian yang dilakukan oleh Daniel Kahneman (2010), salah satu peraih Nobel ekonomi menunjukkan angka USD 75,000 adalah batasnya (untuk kasus Amerika). Jika pendapatan Anda dibawah 75rb dollar setahun, maka gaji adalah segalanya. Tapi jika Anda memiliki pendapatan diatas 75rb setahun (US dollar ya cuk, bukan IDR), maka “there’s something that money can’t buy”, dan Anda akan melakukan sesuatu bukan hanya semata-mata karena uang.

Berapa “angka pendapatan sehingga otak kita ga cuma mikir duit” di Indonesia?

Karena nilai 75rb USD sekitar 2x pendapatan perkapita, dan rata-rata pendapatan perkapita Jakarta adalah 135 juta, maka angka 270 juta adalah masuk akal. Artinya jika pendapatan kita selama setahun kurang dari 270 juta (22,5 juta per bulan), maka sangat wajar jika kita menjadi manusia mata duitan dan rela panas-panasan untuk berdemo dari pagi sampai sore hari demi kenaikan gaji.

Tapi daripada berorasi dan menutup jalan yang ujungnya malah bikin hidup orang lain susah, yang wajib kita lakukan adalah "memantaskan diri" untuk dibayar mahal. Dengan menciptakan nilai tambah yang bisa membantu dan mempermudah hidup orang lain.

Dan jika gaji Anda sudah puluhan juta dan kerjaan-nya cuma datang rapat, duduk, diam, sok interupsi sana-sini, jalan-jalan keluar negeri bawa family, sambil teriak-teriak minta kenaikan gaji, maka saran Imam Syafi’i diatas, patut untuk dicoba.

Minggu, 23 Agustus 2015

Wahai Blogger Bayaran, Tolong Perhatikan 3 Hal Ini

Di suatu siang yang damai, tiba-tiba ada email masuk:

“Hi Yoga, how are you? We met in ***** at the ****** my name is Bunga a Jakarta based blogger/instagramer, I have a proposal to do a collaboration with you, please check it out and let me know what you think about it.”

Oh si Bunga, bukan nama blogger sebenarnya. Ia berbasa-basi menanyakan kabar sambil tak lupa mencantumkan “proposal kerjasama”. Isinya? Mulai data statistik follower, contoh brand yang pernah di endorse, dan tak lupa: rate card harga.

Dia memasang tarif jutaan untuk sekali post di socila media (blog/twitter/instagram/facebook). Bagi yang belum tahu, blogger sekarang sudah menjadi profesi yang menjanjikan. Dan untuk urusan rupiah, jangan salah. Blogger yang sudah punya nama, bisa mematok harga belasan jutaan rupiah untuk sekali postingan di media sosialnya.

Bayangin cuk! Ngepost di media sosial doank dapat belasan juta! Masih mau pake media social Cuma buat curhat dan nge-share link bokep? (terkutuklah engkau wahai spammer link bokep!!!).

Tim marketing brand-brand besar menggunakan blogger (atau istilah kerennya Key Opinion Leader) untuk menembak ceruk pasar yang tak terjangkau media konvensional. Selain itu emotional bonding antara blogger dan para pengikutnya adalah hal yang paling dicari. Semakin berpengaruh seorang blogger, maka semakin mahal ongkos nge-postnya.

Dari berbagai penawaran blogger yang sering saya terima, setidaknya ada 3 hal yang perlu kita perhatikan sebelum mengajukan “rate card” dan menjadi paid blogger (blogger yang dibayar oleh brand).
  1. “Siapa” lebih penting dari “Berapa”
http://opusfidelis.com
Hal pertama yang sering ditanyakan pihak brand atau agency adalah “Bro/Sis followernya berapa?”. Angka pengikut memang penting, tapi sebenarnya ada pertanyaan yang lebih penting: “Profile followernya seperti apa? Siapa mereka?”.
Pertanyaan “Siapa” akan menentukan apakah blogger itu cocok untuk merepresentasikan brand. Karena pada akhirnya, fans/follower adalah tujuan utama sebuah brand beriklan. Jika Anda berjualan terasi masak tentu lebih pas jika bekerja sama dengan @farahquinnofficial dengan follower ratusan ribu daripada @princessyahrini yang punya jutaan pengikut.
Lagipula zaman sekarang fans/follower di dunia maya bisa dibeli. Pingin menang lomba di facebook yang berdasarkan likes? Pake aja like ads. Ingin memenangkan pemilihan presiden? Bikin aja tim sukses untuk jadi cyber warrior #eh...
  1. Hard vs soft sell
http://cdn.onextrapixel.com
Dalam blog, content is the king. Seorang blogger berbayar harus mau dan mampu memasukkan brand ke dalam content blog mereka. Secara sederhana, ada dua cara untuk “menyelundupkan” brand yang di endorse, hard sell dan soft sell.

Hard sell disini bukan berarti menjual dengan kekerasan, tapi lebih pada pola komunikasi brand seorang blogger kepada pengikutnya. Hard sell is straightforward selling. Blogger akan menunjukkan produk/jasa, men-highlight kelebihan atau fiturnya, dan biasanya ditutup dengan call to action untuk membeli/berpartisipasi. Contoh:

“Eh tau ga sih Terasi XYZ? Itu lho terasi yang mengandung Omega 4 dengan vitamin Z kompleks. Bisa menyedapkan makanan sekaligus menyehatkan pikiran. Cobain deh, Cuma 10rb. Dapetin di IndoApril dan Betamaret terdekat ya! #terasi #terasiXYZ #hidupterasi #akucintaterasiXYZ”

Sedangkan soft sell adalah jualan “halus”. Brand akan di infuse senatural mungkin. Bahkan di beberapa post instagramer berbayar, mereka tidak menyebut merek, yang penting brand itu terlihat di gambar. Contoh:

“Lagi pingin masak ayam goreng presto pake sambel terasi nih. Pas belanja di G-ant terus nemu promo terasi baru. Ada yang udah pernah nyoba? #lunch #ayamgoreng #sambal #terasibaru”.

Penggunaan hard sell vs soft sell biasanya bergantung dari tujuan brand dan pilihan blogger itu sendiri. Karena ada beberapa blogger yang “anti berjualan garis keras”. Dalam artian, mereka tidak ingin fans mereka “diracuni” postingan bersponsor yang bisa mengurangi kredibilitas postingannya.
  1. Post relationship
www.poketors.com
Yang tak kalah penting untuk diingat ketika seorang blogger mempromosikan sebuah brand, adalah hubungannya dengan brand setelah periode kerjasama itu berakhir. Pernah ada kejadian sebuah maskapai memberangkatkan blogger jalan-jalan. Saat pulang, ternyata pesawatnya delay. Dodolnya, si blogger yang kzl (kesel) mem-post ke media sosial. Terjadilah perang dunia ketiga antara maskapai dan blogger. Lha wong uda dikasih tiket gratis koq masih ngeluh kalo delay sebentar?

Hukum fisika yang berlaku: jangan pernah mendiskreditkan sebuah brand jika Anda masih ingin mendapatkan job dari dia.

By the way, semua yang saya tulis diatas berdasarkan perspektif seorang brand owner. Ada yang mau berbagi pengalaman sebagai paid blogger?

Senin, 11 Mei 2015

Sedikit Resep Penciptaan Brand Community

Ditengah dunia marketing yang semakin horizontal seperti saat ini, brand community memegang peranan vital dalam penguatan brand. Peer support influence istilah kerennya. Karena konsumen zaman sekarang, berkat kecanggihan teknologi dan gajet, semakin terkoneksi dengan konsumen yang lainnya.

Revolusi digital membuat konsumen semakin mudah untuk mereview, memuji, merekomendasikan, hingga menghujat dan mencaci maki produk yang mereka gunakan. Dan ditengah bombardir iklan yang mengklaim produk yang dijual adalah “kecap nomer 1”, banyak konsumen menggunakan rekomendasi teman sebagai dasar pengambilan keputusan pembelian.

Untuk itulah brand community berperan penting. Coba bayangkan konsumen brand-brand besar semacam Apple, Harley Davidson, Linux, hingga klub bola macam Manchester United dan AC Milan. Mereka memiliki brand community yang otomatis menghasilkan evangelist. Kaum loyalist yang akan memperjuangkan brand hingga titik darah penghabisan. Berani menghina Harley didepan anak moge yang sedang touring? Anda harus siap-siap dicium. Dicium sama aspal jalanan.

Asyik kan kalo kita bisa punya brand community sendiri. Brand kita ada yang ngebelain, ada yang ngejagain, dan yang paling asyik: mereka rela mempromosikan secara gratis. Brand community ini ada yang lahir dengan sendiri, tanpa campur tangan marketer, tapi juga bisa hasil settingan pemasar.

Bagaimana cara membuatnya? 

Saya mendapat brand community development model dari Yuswohady lewat sebuah training community management pertengahan maret lalu. Jika diringkas, menurut saya ada 3 bagian besar: Siapa, Apa, dan Bagaimana.

Siapa.
Siapa yang Anda sasar? Apakah Anda ingin menyasar semua konsumen? Coba pikir lagi. Karena komunitas ibu-ibu akan berbeda pendekatannya dengan kaum eksekutif muda.

Apa.
Komunitas Anda itu, nantinya bakal ngapain sih? Apakah Cuma hang out bareng. Ataukah seminar bertukar pikiran? Atau bersama-sama memikirkan cara menguasai dunia?

Bagaimana.
Bagaimana mewujudkannya? Ini sudah mulai masuk ke tataran teknis. Bagaimana Anda menghubungi mereka? Bagaimana mendapatkan member baru? Pesan-pesan apa yang ingin brand sampaikan?

Untuk lebih mudahnya, mari kita berandai-andai. Andai kita ini berjualan batu akik. Dan untuk menciptakan diferensiasi, kita ingin menciptakan batu akik dengan nama brand: Akik Sakti. Setiap batu akik yang kita jual, ada signature AS di batunya.

Nah, kita ingin memasarkan batu Akik Sakti ini lewat pendekatan komunitas, sekaligus menciptakan loyalist pecinta batu akik dengan merk Akik Sakti. Jika kita breakdown, ada 7 langkah yang harus kita lakukan.

7 Steps of Community Management Model

Langkah pertama adalah menentukan: siapa target pasar Anda. Untuk itulah kita butuh segmenting. Menentukan segmen yang kita sasar. Anggap saja kita ingin menyasar kaum pria mapan berumur 40 tahun keatas yang menyukai batu akik.

Kedua: tentukan komunitas yang akan disasar. Kaum pria mapan berumur 40 tahun keatas itu luas. Mungkin kita bisa mempersempit dengan pria umur 40, berada di kota besar, berada di level direktur atau manajerial perusahaan.

Langkah selanjutnya adalah menentukan common interest (tiga) and needs (empat). Pada tahap ini consumer insight sangat dibutuhkan. Contohnya ada insight jika umur 40 adalah masa “puber kedua” dan masa keemasan dalam hidup. Yang mereka butuhkan adalah aktualisasi diri dan pengakuan atas keberhasilan.

Langkah kelima: menghubungkan brand value dengan community value. Karena kita tahu pria umur 40 butuh lambang kesuksesan, kita bisa mengasosiasikan batu akik sakti dengan kesuksesan dan pencapaian diri.

Langkah keenam, merumuskan content activity. Apa pesan yang ingin kita sampaikan. Karena kita ingin menghubungkan akik sakti dengan kesuksesan, maka kita bisa menciptakan kegiatan yang berkorelasi dengan “sukses” dan pencapaian hidup di umur 40 tahun. Kita bisa saja melakukan pameran batu Akik Sakti disambi gathering bulanan dengan mengundang pengusaha yang akan berbagi tips menuju sukses.

Langkah terakhir, sinergized activity. Kita tidak bisa hanya melakukan stand alone activity. Tapi pendekatannya harus 360 derajat. Kombinasi offline-online, direct-indirect, ablove the line dan below the line.

Pameran Akik Sakti harus ditunjang dengan program community yang teratur, mekanisme membership yang jelas, newsletter yang konsisten, gathering plus sharing, digital conversation, hingga media amplification.

Jika kita sabar dan tulus, insya Allah para bos-bos penggemar batu akik akan melihat Akik Sakti sebagai batu akik yang berbeda. Akik yang harus dikoleksi, karena akik yang terbukti membawa tangga kesuksesan.
7 steps of community development (Yuswohady - inventure)
7 steps of community development (Yuswohady - inventure)
Untuk materi training community management selengkapnya, bisa di download disini.

Hati-hati Investasi ke Teman Sendiri

http://assets.kompasiana.com/statics/files/1421714340464192718.jpg
Seorang teman kuliah yang kini menjadi bankir mengeluh: uang yang diinvestasikan lebih dari 80 juta terancam hilang. Dicuri tuyul? Sayangnya tuyulnya punya dua kaki dan berjalan-jalan di muka bumi. Uangnya belum balik karena dibawa lari partner usaha yang ia pinjamkan.

Koq bisa?

Jadi ceritanya, dia memiliki teman yang dipercaya sejak kuliah. Sebut saja Bunga, bukan nama sebenarnya. Bunga adalah laki-laki. Mereka sudah mengenal sejak masuk kampus. Teman saya, sebut saja Melati (yang juga seorang lelaki), menjalani suka duka organisasi kampus bersama Bunga.

Mulai dari makan bareng, jalan-jalan bareng, naik gunung bareng, semoga aja ga bikin bendungan kaya bareng-bareng. Oh kalo itu berang-berang ding. Ya pokoknya mereka sudah sehati dan sejiwa. Bagaikan bat dan man. Jika tidak bersama ga bisa jadi batman dan melindungi kota Gotham.

Sampai akhirnya Melati lulus lebih dulu. Sedangkan Bunga masih harus memperdalam ilmu di dunia perkulian. Melati kemudian diterima di salah satu bank BUMN dan berkantor di kawasan Sudirman.
Suatu hari, Bunga menawarkan ide kerjasama

menjual beli bebek. Bunga akan membeli dari peternak di desa, dan menjualnya ke rumah makan di kota. Melati dijanjikan mendapat keuntungan per ekor bebek yang terjual. Berapa? Ga tanggung-tanggung cuy, bisa 30%.

Singkat kata singkat cerita, mungkin karena sudah percaya 100% dan tergiur keuntungan, Melati meminjamkan uangnya ke bunga. Ga banyak-banyak dulu. Lima juta, sepuluh juta. Pembayaran return dari bunga berjalan lancar. Melati kipas-kipas duit berbau bebek. Lebih enak dari bebek Pak Slamet tentunya.

Karena cuan-nya lumayan, Melati mulai mempromosikan kesaktian Bunga berdagang bebek ke teman-teman kantornya. Mata teman kantor Melati langsung berubah menjadi batu bacan: hijau terang gemilang karena melihat keuntungan yang dijanjikan. Invest saham yang risikonya besar aja bisa dapat 20% udah bagus, lah ini bisa sampai 30%? Ibarat janda ngaku perawan, siapa yang bisa ngelawan?

Total jendral, terkumpul duit yang lumayan. Melati sendiri menanamkan 80 juta. Eh setelah dikirim uang dalam jumlah besar si Bunga koq ga pernah kasih kabar ya? di telpon ga aktif, di dunia maya ga pernah kasih kabar apa-apa. Setelah dicek di Jogja, Bunga ga punya kandang bebek. Ga ada mobil usaha. Lha selama ini jualnya gimana caranya? Rumahnya disamperin, keluarganya sudah pindah. Bunga hilang tak berbekas. Meninggalkan investor yang harus siap-siap medical check up karena stress duitnya dibawa kabur.

Pelajaran

Ketika Melati menceritakan kasus ini, saya langsung memberinya selamat:

“Wah hebat lu, learning cost 80 juta”

Karena bagi Melati dan kita semua, ini adalah pelajaran. Namanya juga usaha, pasti ada aja apesnya. Yang penting mau belajar dan bangkit lagi. Apa learningnya? Setidaknya ada tiga.

Pertama, pelajari business modelnya. Tanpa bertanya terlalu detail dan melakukan re-check, Melati percaya 100% melihat itung-itungan keuntungan di kertas. Dia tidak pernah mempelajari bagaimana sustainability dari bisnis ini, apa worst case-nya, bagaimana supply chain-nya, dan apakah semuanya masuk akal? Mendengar janji return 30% sudah membutakan mata Melati.

Kedua, cek kondisi lapangan. Selama ini ia hanya percaya laporan lisan Bunga. Melati ga pernah turun melihat proses pembelian bebek dari peternak, atau penjualan ke rumah makan. Pokoknya kalo kata Bunga jualan bagus, ya bagus. Kalo sedang seret dan butuh modal, ya dia tambahin. Selama ini yang penting setoran return lancar, Melati tidak mau ambil pusing soal urusan teknis bebek.

Ketiga, manusia bisa berubah karena uang. Karena teman yang baik, belum tentu partner bisnis yang baik. Sampai saat ini Melati masih tidak percaya jika Bunga benar-benar kabur membawa uangnya. Dia masih ingat karakter Bunga selama masih kuliah. Tapi sayangnya, Bunga yang dikenal sejak kuliah, bisa saja berubah. Everybody changing my friend.

Mendengar kisah ini saya Cuma bisa mendoakan agar Melati segera bangkit. Karena insya Allah selalu ada berkah dibalik musibah. Siapa tahu karena kepepet bayar hutang Melati akhirnya buka usaha dan malah jadi sukses?

Untuk Bunga, saya doakan agar tidak terjadi hal-hal buruk. Semoga masih hidup. Masih memegang amanat investor. Dan masih mau menjalin komunikasi untuk menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Karena sebaik-baiknya harta, adalah nama baik yang terpercaya.

Minggu, 27 Oktober 2013

Hidden Cost

Gambar dari www.trulia.com

Oleh: Yoga PS

Mana yang lebih murah, membeli barang di toko A dengan harga 45rb, atau barang yang sama di toko B dengan harga 25 rb yang terletak 3 km dari toko A?

Pertanyaan yang mengilhami tulisan ini lahir dari pengalaman pribadi saya beberapa waktu yang lalu. Jadi ceritanya saya sedang makan di salah satu food court, nah kebetulan saya butuh kabel data untuk power bank. Kebetulan lagi, setelah menyantap nasi biryani India ditambah kari ayam (inget diet woi), saya menemukan counter hp.

Setelah pdkt ke mas yang jaga (biar dikasih murah) dan tanya sana sini, akhirnya saya menemukan kabel data yang saya butuhkan.

“Ini harganya berapa Mas?” tanya saya dengan muka sok imut.

“45 ribu bos”

Begitu mendengar kata 45rb, dalam hati tangan saya pingin reflex gampar muka mas-mas yang jualan. Masa kabel data doank 45rb, harga normalnya 20-25rb an kale… saya juga tahu pusat perbelanjaan mobile phone (kita sebut mall B) yang bisa memberikan harga segitu. Letaknya tak lebih dari 3 km dari food court ini. Tapi disinilah masalahnya sodara-sodara. Saya menerapkan perhitungan cost benefit dengan memasukkan unsur “hidden cost”.

Hitung Lagi

Hidden cost, menurut mantan mahasiswa ekonomi dengan IP cekak kaya saya adalah biaya “siluman”. Biaya yang sebenernya ada, tapi seolah-olah tidak ada. Dia itu seperti kentut: tidak berwarna, tapi kesan pertama begitu menggoda. Selanjutnya terserah Anda (mau nutup idung, muntah, apa keracunan).

Saya lalu melakukan cost benefit analysis. Pilihannya ada 2: beli sekarang dengan harga 45rb, atau pindah ke mall seberang dengan harga 25rb. Jika saya seorang Emak-emak yang rajin belanja di pasar, pasti pilihannya jelas: ambil yang paling murah donk! Which is 25rb.

Tapi karena saya adalah seorang homo economicus yang ga mau rugi, saya berpikir lebih ‘dalam’ (pemilihan kata ‘berat’ agak sensitive buat saya). Setelah melakukan kajian epistemologis, empiris, holistis, historis,  dan memasukkan berbagai variable ekonomis, akhirnya saya justru mengambil di toko abang-abang vampire penghisap darah bangsanya sendiri karena menjual kabel data terlalu mahal ini.

Lho koq bisa? 25 ribu kan lebih murah dari 45 ribu! Nenek-nya nenek juga tahu!

Iya memang lebih murah. Tapi itu baru cost of goods sold (COGS), tolong tambahkan “hidden cost” yang harus saya bayar jika mengambil barang di mall B.
  1. Biaya transport. Karena saya ga punya kuda atau onta, pilihannya adalah naik ojek atau taksi. Biayanya sudah 20rb sendiri. jalan kaki? Ntar laper donk… biaya makan disana rata-rata 30-40rb.
  2. Biaya riset. Jika saya sudah sampai di mall B, toko mana yang harus saya pilih? Kudu muter2 lagi kan.  Saya harus melakukan riset lewat scanning counter penjualan. Kudu ngeliat barang yang di display, penjual, dan competitor di tempat yang sama.
  3. Biaya waktu. Ini yang paling penting. Bepergian di 3km di Jakarta tidak seperti berjalan 3km di surga yang bisa sekejap mata (udah pernah ke sana emang?). Kita harus menghadapi kenyataan kepadatan penduduk dunia ketiga beserta polutan CO2 dengan kandungan timbal yang bisa menurunkan kecerdasan otak manusia.
Direct benefit

Ekonom menganggap manusia rasional. Meraka pada umumnya mengaku melakukan cost benefit analysis. Mengambil keputusan yang lebih menguntungkan, dengan kerugian minimal. Tapi jika manusia benar-benar rasional, maka ada tiga jenis manusia yang lenyap dari muka bumi:
  1. Penjahat kampungan,
  2. Perokok
  3. Penderita obesitas
Mengapa? Karena secara cost benefit, keuntungan sebagai penjahat kelas teri (maling ayam, jambret, curanmor) tidak sebanding dengan kemungkinan ditangkap dan dijadikan menu ayam bakar taliwang oleh massa.

Merokok? Jika orang rasional, mereka sudah tahu jika itu adalah racun bagi tubuh. Obesitas? Mana ada orang waras yang rela menimbun lemak dan menyiapkan tubuh jadi sarang penyakit?

Manusia, digerakkan oleh 4R (Rewards, Resource, Reason, Reinforcement) yang seperti sudah saya tulis sebelumnya. Dan mengenai rewards, manusia akan lebih menghargai direct rewards. Keuntungan didepan mata. Kenikmatan yang langsung dirasakan. Analysisnya menjadi direct cost vs direct benefit.

Karena itulah, untuk uang tak seberapa, manusia mencuri. Untuk kenikmatan di mulut selama 5 menit, manusia merokok. Dan untuk kepuasan perut beberapa jam, manusia makan berlebihan. Mereka tidak pernah memperhitungkan multiplier effect dan “hidden cost” yang harus dibayar dikemudian hari.

By the way, Jika ada hidden cost, apakah ada “hidden benefit”???

Minggu, 15 September 2013

4R of Social Modeling

Oleh: Yoga PS

Apa yang mempengaruhi prilaku seseorang? Bagaimana cara mengubah prilaku manusia? Apakah manusia bisa berubah menjadi lebih baik? Bagaimana cara mengubah masyarakat? Apakah rekayasa social bisa dilakukan?

Pertanyaan-pertanyaan ini terus menghantui benak saya. Dilatar belakangi rasa penasaran dan tuntutan pekerjaan yang memaksa saya untuk belajar mempengaruhi kerumunan massa. Kebetulan saya berada di dunia advertising-marketing. Sebuah wilayah persilangan antara marketing brand dan culture evolution.

Brand yang sukses, biasanya mampu mempengaruhi budaya konsumennya. Contohnya air mineral. Dahulu orang merebus air untuk minum. Sekarang, kita menyebut salah satu brand untuk merujuk pada air minum. Bahkan air mineral dalam gallon sudah menjadi “kewajiban” disetiap rumah tangga.

Perlu dicatat, apa yang manusia lakukan, sebenarnya hanya sebuah puncak gunung es perwujudan alam bawah sadarnya. Itu kata ahli-ahli psikolog macam Freud. Seperti juga pesan T Haru Eker:

“Jika ingin mengubah buahnya, Anda harus mengubah akarnya. Jika ingin mengubah yang terlihat, Anda harus mengubah yang tidak terlihat”

Social Modeling
Apa yang kita lakukan, apa yang kita pilih, keputusan apa yang kita ambil, tidak terlepas dari berbagai factor. Jika kita bisa mengetahui factor-faktor yang berpengaruh ini, lalu mengubahnya, mengarahkannya, mengkondisikannya, dan memanipulasi sehingga menghasilkan output yang kita inginkan, maka rekayasa social bisa kita lakukan.

Buset bahasa-nya berat amat ya…

Gampangannya gini, kita ingin membuat pisang goreng. Untuk itu kita membutuhkan pisang (bukan nasi), terigu, gula & garam, dan minyak. Modelnya menjadi:

PG (Pisang Goreng) = P (Pisang) + T (Terigu) + G (Garam) + M (Minyak)

Jika ingin manis, maka kita bisa mengatur variable G (Gula), jika ingin berkulit tipis, kita bisa mengurangi variable T (Terigu). Dan seterusnya, output pisang goreng bisa kita atur setelah kita tahu variable-variable apa saja yang berpengaruh.

Demikian pula dengan manusia. Menjadi manusia sholeh, baik, tidak sombong dan rajin menabung bisa kita capai jika mengetahui variable-variable apa saja yang mempengaruhi prilaku kita.

Setelah berdoa, membaca, dan bertapa, sementara ini saya menyimpulkan bahwa tindakan manusia ditentukan oleh 4R: Reward, Resource, Reason, dan Reinforcement. Berikut penjelasan singkatnya.

Reward
Apa yang saya dapatkan dari melakukan sebuah tindakan? Manusia selalu mencari kesenangan dan membenci kesulitan. Ini adalah motivasi paling dasar manusia.

Resource
Mampukah saya melakukan tindakan itu? Sumber daya mutlak dilakukan. Contohnya kita lapar, ingin makan ayam goreng. Tapi jika ga punya duit? Ya makan ati :p

Reason
Motivasi dalam melakukan tindakan. Bisa internal, atau eksternal. Bisa rational, atau emotional.

Reinforcement
Penguat sebuah tindakan. Contohnya ketika rajin belajar kita dipuji guru, membuat kita semakin bersemangat untuk belajar lebih biat.

Social modeling ini bisa kita aplikasikan untuk marketing, berdakwah, education campaign, melawan obesitas, atau jika ingin berhenti merokok. Yang terpenting, kita harus melakukan sesuatu untuk mengubah 4R diatas.

Minggu depan, kita akan membahas lebih dalam disertai contoh studi kasus. Karena kebetulan saya berusaha mempraktikkan social modeling dalam kehidupan sehari-hari.

Oh ya, selain 4R diatas, adakah pembaca yang bisa menambahkan? Feel free to discuss :)

Minggu, 21 Juli 2013

Karpet

Hari pertama menjelang puasa. Seperti pada umumnya, shalat taraweh akan dibuka. Disebuah masjid di selatan Jakarta, dibelakang salah satu hotel bintang lima. Setelah sholat isya berjamaah, ada seorang bapak takmir memberikan pengumuman. Saya kira  siraman rohani atau semacamnya. Tapi ternyata:

"Karpet ini baru diganti sebulan yang lalu. Harap jamaah menjaganya. Sumbangan seorang donatur hamba Allah. Yang anak2 jangan sampai ngompol di karpet. Jangan tidur-tiduran di karpet. Kita mbersihkannya susah, dicuci setelah sholat isya".

Setelah pengumuman itu hening. Tidak ada sambutan lain. Langsung menuju taraweh.

Awalnya saya kaget, akhirnya saya tertawa. Sungguh “tausyiah” yang luar biasa. Tidak ada siraman tentang makna puasa seperti biasa. Imbauan tentang pentingnya meningkatkan amalan ibadah, atau petuah2 wajib semacamnya. Tak ada pula ajakan untuk mencintai fakir miskin, menyantuni anak yatim, atau bagaimana cara membantu mereka yang kekurangan. Pengumuman yang out of the box.

Kata pengamat2 soleh, kita sekarang berlomba-lomba mempercantik masjid, tapi lupa untuk mengisinya. Permasalahan klise modernisme. Ditengah banyaknya pengumuman pembangunan/renovasi masjid. Kotak sumbangan terus diedarkan. Dana terus dikumpulkan. Tapi jumlah jamaah belum tentu penuh memuaskan.

Pantas saja tidak penuh, karena mengikuti teori ekonomi, jumlah supply masjid terus bertambah. Sekarang setiap lingkup RT atau perkantoran punya masjid sendiri. Minimal ada musholla. Sehingga subsitusinya semakin banyak. Distribution point menjadi tersebar, dengan konsekuensi turunnya konsentrasi jamaah pada titik tertentu.

Pingin masjid rame? Gampang aja. Berikan direct material benefit kepada Jemaah. Selain menyediakan fasilitas yang aman dan nyaman (karpet empuk, AC dingin, free wifi), Adakan operasi sembako, pembagian daging kurban, kalau perlu sholat dapat door prize! Hahaha (meskipun pada dasarnya setiap sholat kita mendapat doorprize dari Allah swt- kalo keterima loh yaaaa hihi :p).

Tapi apa salahnya mempercantik rumah Tuhan? Di Mekah sekarang berdiri megah Abraj al Bait, kompleks hotel dan mall setinggi 600 meter dengan jam raksasa terbesar mengalahkan Big Ben London. Bangunan tertinggi kedua didunia dengan 800 kamar ini punya floor area seluas 1,5 hektar dan mampu menampung 1000 mobil. Kita juga bisa memarkir helicopter pribadi jika sedang bosan naik onta.

Memang salah satu tanda akhir zaman selain banyaknya kemaksiatan adalah jumlah umat yang banyak tetapi asyik bermegah-megahan dan cinta dunia. Tapi mari berpikiran positif. Islam mengajak umatnya cinta keindahan. Tidak jorok, ogah membuang sampah sembarangan, dan menjaga kebersihan. Termasuk keindahan masjid dan karpet.

Lagipula Paulo Coelho, pengarang Brazil yang tersohor itu, mendapatkan pelajaran hidup dari karpet.

 “Saat bangun pagi hari, masih di tempat tidur, saya bertanya kepada diri sendiri. Apa rahasia sukses? Saya menemukan jawabannya di kamar ini. AC berkata: DINGIN, hati kita harus sabar. Atap berkata: TINGGI, tetapkan cita-cita setinggi awan. Jendala berkata: Mari melihat dunia LUAR. Jam berkata: Setiap menit adalah HARAPAN. Cermin berkata: Sebelum bertindak, lihatlah DIRI sendiri. Karpet berkata: BerSUJUDlah! Pengetahuan suka bicara, kearifan cenderung mendengarkan”.


Minggu, 12 Mei 2013

Segelas Air Seharga 15 Juta




Oleh: Yoga PS

Sepulang dari meeting, saya menumpang salah satu angkot warna biru. Dan seperti biasa, macet menjadi paket tambahan yang tak terelakkan lagi. Tapi macet tidak selamanya menjadi bencana. Terkadang, ia justru membawa berkah didalamnya.


Didalam macet dimana gerak terbatas sekali. Waktu seakan berhenti. Jarak menjadi tak ada lagi. Ia membawa kembali nuansa kemanusiaan yang selama ini pergi. Lewat dialog sederhana tentang kehidupan sehari-hari. Teman dialog kali ini namanya Setiawan Jodi. Sang pengemudi taksi.

Saya memulai pembicaraan tentang macet. Obrolan lalu mengalir menjadi kehidupan berbangsa bernegara, pembangunan, pertumbuhan kendaraan, cerita sehari-hari, suka duka narik taksi, dan entah kenapa menjadi topic rezeki.

Awalnya hanya soal voucher taksi. Saya bercerita tentang salah satu supir taksi di kantor salah satu klien saya yang pernah mendapat durian runtuh dari langit: cek voucher 7 juta rupiah untuk argo seratusan ribu!

Jadi ceritanya supir taksi yang beruntung ini adalah langganan seorang manager di perusahaan FMCG multinasional itu. Kebetulan saat itu menjelang hari raya. Puasa. Menjelak mudik ke kampung halaman kita. Entah malaikat apa yang ada, sang manager dengan baik hati ingin berbagi tunjangan hari raya. Ia menuliskan angka 7 juta di voucher cek taxi. Sang supir tentu langsung terkejut dan berkaca-kaca dalam hati.

“Tapi ada teman saya yang dapat voucher 15 juta Mas”

“Wow, langganan juga pak?”

“Bukan”.

“Loh, koq bisa Pak?”

Segelas Air

“Jadi waktu itu ceritanya bulan puasa. Temen saya ini sedang nganter tamu. Terus kena macet. Karena udah maghrib, dia tanya ke tamunya: ‘maaf Bapak, sudah maghrib, Bapak mau sholat maghrib dulu mungkin?’ tawar teman saya itu”.

“Karena merasa sudah dekat, tamu ini nolak. Terus teman saya ngomong lagi: ‘Maaf Bapak, karena sudah waktunya buka, dibatalkan sama air ini dulu ya’ sambil menawarkan air dalam kemasan gelas.”

Mungkin karena tersentuh, saat sampai di tujuan, tamu yang ternyata seorang pengusaha ini menuliskan angka fantastis di voucher taksi itu: 8 juta rupiah!. Tentu sang supir terperanjat dan berterima kasih sedalam-dalamnya. Masalah belum berhenti disitu. Saat hendak mencairkan voucher di pool, voucher itu ditahan.

“Kita harus klarifikasi ke pemberi voucher”. Itu sudah peraturan perusahaan. Ditelponlah pemberi voucher. Meminta kejelasan. Jangan-jangan supir taksinya yang berbohong dan memanipulasi voucher.

“Loh itu hak saya donk mau ngasih berapa. Itu kan uang-uang saya” kata pengusaha tadi. Dan lebih hebatnya lagi, ia datang ke pool dan menuliskan satu voucher tambahan senilai 7 juta rupiah!. Sehingga total 15 juta.

Empati

Sekecil-kecilnya kebaikan, pasti akan dibalas kebaikan. Itu prinsipnya. Tapi entah kenapa, kita sering lupa, terlalu berfocus pada hal-hal besar. Kita beranggapan jika berbuat baik itu berarti menyumbangkan sekian juta rupiah, membantu sekian puluh anak yatim, menyantuni sekian ratus fakir miskin. Seolah-olah dunia hanya bisa berubah dengan kekuatan besar.

Padahal dunia bisa menjadi lebih baik lewat tindakan sederhana. Menyebut nama Tuhan ketika bangun di pagi hari, menyiram tanaman, memberi makan hewan kelaparan, menyapa tetangga, tersenyum kepada satpam, ceria ketika bertemu sejawat, atau berbagi sedikit rezeki yang kita miliki. Kebaikan-kebaikan kecil yang terakumulasi akan sama dengan kebaikan besar yang terfluktuasi.

Dan kebaikan yang disampaikan dari hati, akan sampai kedalam hati. Apa yang dilakukan pengemudi taksi tadi adalah tindakan yang sudah semakin jarang kita temui: melayani sesama dengan hati dan empati.

Daniel Pink dalam To Sell is Human menyebut bahwa empati akan semakin penting di dunia modern ini. Seorang negosiator yang memiliki empati terbukti memiliki kemungkinan untuk mendapatkan win-win negotiation. Penjual yang memiliki empati memiliki kemungkinan melakukan closing dan menjaga hubungan personal.

Saat hubungan antar manusia sudah menjadi hubungan penjual dan pembeli. Semua menjadi transaksi untung dan rugi. Kehadiran empati berarti kembali memanusiakan manusia. Menempatkan diri kita didalam posisi orang lain. Merasakan apa yang mereka rasakan. Dan membantu apa yang bisa kita bantu. Tanpa pernah memikirkan apa yang kita dapatkan sebagai balasan. Termasuk, hanya dengan memberikan segelas air.

Karena jangan pernah remehkan segelas air. Konon, Harun Al Rasyid bersedia menukar segelas air dengan separuh kerajaannya.