Tampilkan postingan dengan label Cinta. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cinta. Tampilkan semua postingan

Selasa, 04 Juni 2013

Apa Maksudnya "Jika ada wanita yang melamar saya terlebih dahulu, maka saya akan menjanjikan dia peluang 80%"

Oleh: Aulia Rachman Alfahmy

Sebagai seorang “ekonom gila”, saya selalu terbiasa menggunakan angka dalam menjelaskan dan mengungkapkan sesuatu agar dapat dipahami dengan mudah. Kisah dari tulisan ini dimulai dari sebuah pernyataan yang cukup unik, “Jika ada wanita yang melamar saya terlebih dahulu, maka saya akan menjanjikan dia peluang 80% keberhasilan”. Terlepas saya suka dia atau tidak, dia cantik atau biasa-biasa saja, kaya atau miskin, intinya kita anggap tidak ada faktor lain yang memengaruhi (kecuali faktor agama kali ya? :P). Saya sudah berjanji memberikan “80%” saya kepada dia. Adapun saya melakukan ini karena 1) Saya menghormati keberanian perempuan menyatakan lebih dahulu; 2) Untuk saat ini, melihat dari kondisi saya yang belum mapan dan menjadi apa-apa, pastinya sang perempuan benar-benar melihat lebih dari sekedar materi, 80% adalah reward saya.

Tapi ada satu hal yang menganggu saya akhir-akhir ini. Apa sebenarnya makna dari ungkapan “80%” ini? Bagaimana praktik di lapangannya? Apa konsekuensi pernyataan ini bagi masa depan rumah tangga saya? Apakah ungkapan ini dapat menjelaskan siapa saya?  Apa manfaat mengetahui makna angka-angka ini bagi para pembaca Ekonom Gila?

Pengertian 80% pada Umumnya
Mari kita berasumsi 1) cateris paribus, pilihan atas pelamar objektif, tidak ada tendensi atau kecenderungan 2) bahwa yang namanya melamar hanya ada dua jawaban, “Ya” dan “Tidak”, jadi di sini kita beranggapan bahwa seseorang tidak akan memberikan jawaban menggantung, tidak ada jawaban, “sebenarnya saya menerima, tapi tunggu saya lulus/tunggu kamu lulus/tunggu kamu sudah kerja/tunggu kakak sudah nikah/dan jawaban-jawaban sejenis lainnya. Jika kita melamar seseorang, maka probabilitas normalnya adalah 50%, karena ada dua jawaban “Ya” dan “Tidak” (dalam rujukan hukum Islam, seorang wanita yang belum menikah, jika “diam” maka bisa dianggap menjawab “iya”, karena diasumsikan ia malu mengatakan “iya”). Nah, pencerahannya adalah dalam situasi normal, maka setiap lamaran yang kita ajukan ke seseorang sebenarnya memiliki probabilitas diterima 50%! (tentunya juga probabilitas ditolak 50% hehehehe), cateris paribus  :P.

Lalu apa makna 80%? Jika kita bersandarkan pada pengertian dan kasus 50%-50% di atas, maka bisa diartikan maksud dari 80% adalah sebuah ungkapan untuk memberikan penekanan atas probabilitas diterima yang lebih besar. Artinya hukum ya-tidak 50%-50% berubah menjadi 20% untuk tidak, dan 80% untuk iya. Dengan kata lain ini adalah sebuah ungkapan yang mengisyaratkan: “Ayo lamar aku duluan, InsyaAllah kamu akan saya berikan prioritas untuk diterima. Kemungkinan ditolakmu amat sangat kecil…”

Konsep Probabilitas ala Saya…
Penjelasan di atas tidak akan selesai begitu saja. Akan ada masalah jika ada yang bertanya, “Kalau memang hanya sekedar memberikan kecenderungan untuk diterima, kenapa gak 75%? Kenapa gak sekalian 99%? Apa bedanya 80% dengan 90%? Bukannya semua ungkapan ini sama saja? Kenapa harus 80%? Apa itu hanya retorika belaka, biar kelihatan cool dan keren?”.

Baiklah, mungkin memang saya dulu tidak sengaja beretorika. Terpaksa saya membuka buku-buku lama saya lagi, dan mungkin jawabannya ada di buku Basic Econometrics buatan Pak Gujarati dan logika yang dipakai cukup berbeda dengan logika 50-50 di atas. Dan mungkin nanti jika ada anak matematika yang membaca artikel ini, ia akan banyak mengkritisi tulisan ini karena mereka lebih mengetahui hakikat probabilitas ketimbang diri saya. Aka tetapi… lagi pula itulah kenapa ini blog ini disebut Ekonom Gila bukan? Hehehehehe. So nekat saja…

Pada Bab  5 yang ngomongin masalah interval estimation and hypothesis, pak Gujarati menyinggung apa yang dimaksud dengan confidence interval atau biasa disingkat dengan CF (biasanya dengan angka 90%, 95%, dan 99%). Misalnya dalam bagian ini Pak Gujarati menerangkan apa yang dimaksud dengan CF 95% dalam sebuah interval nilai 0.4268 sampai 0.5914. Beliau menjelaskan maksud CF itu seperti ini:
Given condition 95%, in the long run, 95 out of 100 cases interval like (0.4268, 0.5914) will contain true β2.   
Tapi beliau juga meningatkan!
We cannot say that the probability is 95% percent, that the specific interval (0.4268, 0.5914) contains the true β2 because this interval is now fixed and no longer random, therefore, either lies in it or does not: The Probability that specified fixed interval include the true β2 is therefore 1 or 0.
Anda bingung? Hahahahaha, Sama saya juga! Mungkin pengertian Gujarati di atas sebenarnya tidak bisa dipakai dalam kasus “dilamar = 80%” saya. Karena di atas adalah sebuah kasus yang harus digunakannya sebuah data empiris, ada observasi, ada standar deviasi, dan CF yang bergabung dan berujung pada sebuah kesimpulan pada diterima atau ditolaknya hipotesis. Tapi mungkin ada baiknya kita menggunakan sedikit pengertian di atas untuk kasus “dilamar = 80%” ala saya. Oke ini ala saya, silakan bagi teman-teman yang ahli matematika mengoreksi secara akademis tulisan ini, eheheheheh.

Terinspirasi dari pengertian CF di atas, saya menggunakan pengertian 80% seperti ini: Dalam jangka panjang dari kasus 100 wanita yang duluan melamar saya, maka 80 lamaran yang ada adalah lamaran yang saya terima. Wah artinya, apa saya punya bakal 80 istri?

Interpretasi Liar…
Baiklah, mari kita kecilkan angka 80% ini menjadi 8 dari 10 atau 4 dari 5. Jadi misalnya dalam jangka panjang ada 10 wanita melamar saya duluan maka 8 lamaran itu saya terima, atau lebih kecil lagi, jika dalam hidup saya (jangka panjang) ada 5 wanita yang melamar saya, maka 4 lamaran itu akan saya terima. Nah, sekarang sudah ada 4 istri, kalau di Islam kan boleh punya 4 istri? Apa ini maunya penulis? Hehehe: Bukan. Itu bukan concern saya, bukan jumlah orang yang diterima, tapi justru jumlah orang yang ditolak.

“Hikmah” dari probabilitas ala saya di atas adalah dapat dijelaskan seperti ini: anggaplah saya memiliki fans 100 orang wanita, dan anggaplah ada pengamatan peneliti peradaban, saat ini 10% dari fans wanita biasanya mau dan rela melamar duluan. Jadi dengan fans yang saya estimasi sekitar 100 orang maka ada 10 orang dalam hidup saya yang akan melamar saya duluan. Maka jika demikian ada 8 yang diterima dan 2 orang yang tidak diterima. Dengan demikian, jika saya konsisten dengan prinsip 80% dan jika kondisi-kondisi soal estimasi fans dan wanita pelamar benar, maka jatah menolak “wanita pelamar duluan” sepanjang hidup saya hanya ada 2 orang. Jika fans saya hanya ada 50 orang sepanjang hidup, maka 5 orangnya akan berani melamar duluan. Dengan prinsip 80% diterima, maka jatah menolak saya hanya 1 orang. Bagaimana jika hanya ada 3 pelamar dalam hidup saya, tidak ada yang bisa saya tolak sedikit pun, karena ketika saya menolak satu orang saja maka rumusnya bukan lagi 80% tapi 66,6%.

Oke apa hikmah dari “logika-logika” di atas? Menjawab pertanyaan dasar di atas bahwa angka 80% ada bedanya dengan 90% dan 70%. Ternyata ungkapan-ungkapan 70%, 80%, 90% menunjukkan perbedaan 1) tingkat kepercayaan diri seseorang atas seberapa banyak jumlah fansnya dan 2) bisa mengetahui seberapa banyak jatah orang yang bisa dia tolak. Semakin tinggi nilai probabilitasnya maka menunjukkan bahwa orang tersebut kurang percaya diri = merasa fansnya sedikit, artinya dia memiliki prinsip “Siapa saja! yang penting mau sama saya…”, Semakin rendah maka bisa dikatakan adalah orang yang sangat pemilih dengan memperbanyak “jatah menolak” = yakin bahwa dalam hidupnya akan banyak yang melamar dia.

Note: ingat bahwa ini adalah kasus di mana kita dilamar oleh seseorang tanpa tendensi/kecenderungan apa-apa, murni tanpa ada chemistry, objektif tanpa ada rasa di hati :p, jadi tidak bisa kita bantah oleh orang yag sudah menikah, “Saya ini pemilih loh, tapi..lamaran pertama atas diri saya saya terima tuh, karena memang saya dari awal sudah suka sama dia! Kosep ini batal!”. Itu kasus dengan asumsi yang berbeda.

Perbedaan Kondisi-Kondisi yang Dibutuhkan
Ingat bahwa 80% itu adalah standard saya pribadi bagi wanita yang “melamar duluan”. Kredit lebih saya berikan bagi mereka yang berani mengambil inisiatif dengan landasan berpikir bahwa di era peradaban saat ini wanita yang berani melamar duluan adalah wanita yang punya perbedaan dan nyali (not ordinary). Mungkin bisa jadi kasus ini bagi wanita berbeda, bagi mereka “Pria Melamar duluan” adalah hal yang biasa, dan tidak perlu diberikan kredit lebih. Tetap kembali ke konsep probabilitas awal 50-50, “iya” atau tidak” (note: konsep 50-50 sebenarnya tidak bisa diartikan jika ada 10 orang melamar, 5 orang adalah jatah ditolak, karena concern-nya di opsi pilihan.”ya” dan tidak”, karenanya probabilitas 50%).

Sebenarnya konsep 80% saya bisa diterapkan menyesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan. Misal mbak A, “Saya akan memberikan 80% kemungkinan diterima bagi pria yang melamar saya jika dia seorang lulusan S1”, Mbak B, “Saya akan memberikan 80% kemungkinan diterima bagi pria yang melamar saya jika dia adalah seorang yang alim dan faqih dalam agama”, Mbak C, “Saya akan memberikan 80% kemungkinan diterima bagi pria yang melama saya jika dia adalah seorang yang kaya raya, atau Mbak D, “Saya akan memberikan 99,99% kemungkinan diterima bagi pria yang melamar saya jika dia adalah seorang yang lulusan S1, alim dan faqih dalam agama, seorang yang kaya raya dan ganteng…”, ingat: cateris paribus.
  1. Bagi mbak A: Semisal dalam hidupnya ada 10 pria lulusan S1 melamar dia, maka jatah menolak dia 2 bagi kelompok S1 itu
  2. Bagi mbak B: Semisal dalam hidupnya ada 10 pria yang alim dan faqih dalam agama melamar dia, maka jatah menolak dia 2 bagi kelompok alim dan faqih itu
  3. Bagi mbak C: Semisal dalam hidupnya ada 10 pria yang kaya raya melamar dia, maka jatah menolak dia 2 bagi kelompok kaya raya itu
  4. Bagi mbak D: Semisal dalam hidupnya ada 1 saja atau bahkan 100 orang pria lulusan S1, alim-faqih, kaya raya, dan ganteng melamar dia, maka tidak ada satu pun yang “sempat” dia tolak (satu aja belum tentu ada dalam hidup…)

Sama seperti saya, “Saya akan memberikan 95% bagi wanita yang melamar dulu, sholehah dan pinter”, dari 80% menjadi 95%, ada peningkatan probabilitas dan pengertian secara teknis di lapangan akan berbeda.

Hikmah dan Kesimpulan
Bagi orang yang ingin melamar saya: lihat kira-kira seberapa terkenal saya, seberapa keren saya, berapa kira-kira jumlah fans saya, berapa kira-kira orang yang akan melamar saya dalam jangka panjang, lalu cari tahu sudah berapa orang yang saya tolak, lamarlah saya ketika jatah menolak sudah habis dan anda akan saya terima sebagai bentuk konsistensi saya terhadap apa yang saya janjikan pada diri sendiri. Hehehehehehehe

Bagi kita semua (penulis dan pembaca Ekonom Gila): Menjadi pribadi yang lebih baik dan lebih baik akan meningkatkan probabilitas diterimanya lamaran kita kepada seseorang, karena orang yang kita lamar akan kehabisan “jatah” untuk menolak.

Sekali lagi, mungkin banyak yang akan mengkritik pedas tulisan saya mulai dari konsep probabilitasnya yang ngawur hingga ke masalah “perasaan” hati dan kejelimetan saya soal hal-hal yang remeh temeh ini: Pernikahan, “Sudahlah Aulia, ngapain pusing-pusing hitung-hitung probabilitas, kalau suka ya terima aja, kalau gak suka tolak saja, tidak usah banyak dipikirkan, dirasakan saja….”.

Selama menjalani kehidupan ini, saya akhirnya sadar bahwa masa depan, serapi apapun manusia merencanakan, Allah yang berkendak. Manusia sebatas merencanakan, rencana Allah niscaya lebih indah. Termasuk dalam hal jodoh, kita tidak bisa tahu apakah memang benar-benar pasangan hidup yang ada di depan kita adalah yang terbaik dari kacamata pribadi dan perasaan kita saja, Allah-lah yang akan menunjukkan kepada kita siapa yang terbaik bagi kita, sekali lagi, manusia hanya bisa merencanakan”. Probabilitas yang rumit di atas adalah rencana saya, Allah-lah yang berkehendak di hasilnya. Saya akan kesampingkan emosi dan perasaan saya dalam menentukan sebuah pilihan yang besar dalam hidup saya: Istri, lalu akan menggantinya dengan bersikap objektif dan profesional melalui sebuah rencana dan doa agar selalu diberikan ilham yang benar dan baik bagi hidup dan agama saya. Semua kembali ke Allah...
"..either lies in it or does not: The Probability that specified fixed interval include the true β2 is therefore 1 or 0."

Selasa, 4 Juni 2013
Waktunya untuk merenung dan merenungkan..



Rabu, 25 Januari 2012

Spousonomics: Solusi untuk Keretakan Rumah Tangga Anda!

Gara-gara dulu Mas Gilang pernah suggest buku yang kayaknya bagus ini (pas zaman-zamannya Para Ekonom Gila Cinta masih pada mabuk kepayang sekian tipe: galau jomblo, galau nggak laku-laku, galau mau nembak, sampai galau mau nikah) akhirnya saya bela-belain juga membaca ini buku dengan harapan buku ini akan menyelesaikan masalah galau skripsi saya (loh?!? Hahaha~). Buku ini berjudul “Spousonomics: or How to Maximize The Biggest Investment of Your Life” karya Paula Szuchman dan Jenny Anderson. Tulisan ini akhirnya sengaja dibuat khusus untuk kakak seperguruan Ekonom Gila, Mas Syarif, dan kakak pemandu AAI saya zaman dulu, Mbak Kiki. Tapi jangan salahkan saya kalau setelah membaca tulisan ini, aka nada dua kubu pembaca: Kubu yang merasa masalah-masalah rumah tangganya terpecahkan DAN Kubu yang merasa menikah itu kok ya rada merepotkan ya (pendapat pribadi, hahaha~).

Dalam tulisan ini, percaya atau tidak, dalam sebuah survei pada sekian banyak keluarga yang ada di US tentang permasalahan apa yang bisa mereka selesaikan sehingga akhirnya pernikahan mereka bisa awet, top 3 jawabannya adalah: Uang, Anak-Anak, dan yang terakhir… Pekerjaan Rumah Tangga (dan segala tetek-bengeknya). Jadi, lagi-lagi percaya atau tidak, saya akan menuliskan sekian banyak teori ekonomi yang dipakai di buku ini untuk menyelesaikan masalah-masalah rumah tangga tadi (dengan sedikit penyesuaian dengan keadaan di Indonesia dan Teori Comparative Advantage, Teori Efisiensi Pareto (Pareto Efficiency), sampai pada Teori Kegagalan Pasar (Market Failure). Penasaran? Kita lihat pesan-pesan sponsor berikut ini, wehehehe~

Keretakan Rumah Tangga #1

Gara-gara sebegitu banyaknya pekerjaan rumah yang ada, Ani dan Budi (bukan nama sebenarnya) pasangan yang baru menikah 3 bulan memutuskan untuk membagi pekerjaan rumah sama rata berdasarkan bagian rumah depan-belakang. Ani mendapatkan segala pekerjaan yang berhubungan dengan rumah bagian belakang (memasak, mencuci baju, mencuci piring), dan Budi mendapatkan pekerjaan yang berhubungan dengan rumah bagian depan (memotong rumput, mencuci mobil, membersihkan lantai rumah dan halaman). Sekilas tampak sama jumlahnya kan? Tapi mereka tidak bahagia. Kenapa? Karena Ani merasa bebannya lebih berat karena dia memerlukan waktu lama untuk menyelesaikannya, sedangkan Budi dilihatnya selalu cepat selesai dan santai-santai sambil minum kopi.

Teori Comparative Advantage

Setelah Ani menemui pakar “Ekonom Cinta”, Sang EC pun memberikan saran menggunakan Teori Comparative Advantage. Jadi, Ani dan Budi tidak membagi pekerjaan berdasarkan “bagian rumah depan-belakang” tapi dengan “siapa yang bisa selesai lebih cepat”. Katakanlah untuk pekerjaan memasak ternyata Budi bisa menyelesaikannya dalam 20 menit sedangkan Ani baru bisa selesai dalam 40 menit (tentu dengan hasil sama enak loh ya!). Dan ternyata Ani bisa menyelesaikan pekerjaan membersihkan lantai rumah dan halaman dalam waktu 25 menit saja dibanding Budi yang memerlukan waktu 55 menit untuk menyelesaikan semuanya. Hal ini berarti, bahwa mereka bisa membagi pekerjaan berdasarkan kelebihan masing-masing (comparative advantage) untuk mendapatkan hasil yang paling efisien. Bahkan, jika ternyata Ani bisa menyelesaikan banyak pekerjaan dengan waktu lebih sedikit dari Budi, tetap saja ada sesuatu yang bisa mereka “perdagangkan”. Caranya? Budi bisa menawarkan untuk memilih pekerjaaanp-pekerjaan yang rasio waktu penyelesaiannya lebih kecil. Bingung?


Memotong Rumput

Mencuci Mobil

Ani

15’

20’

Budi

20’

35’

Rasio

0,75

0,57

Dari rasio di atas, Budi bisa memilih untuk mencuci mobil dan Ani yang memotong rumput. Tidak efisienkah? Bukankah semuanya lebih cepat jika Ani yang mengerjakan sendiri? Ouch! As if she would like to do that! Tapi karena Budi memang lambat di semuanya, benefit yang bisa diperoleh Ani dari skenario di atas adalah dia bisa saving waktu lima menitnya daripada dia yang mencuci mobil dan Budi yang memotong rumput. Yak! Mudah kan? Tapi ya itu... siap-siap stop watch untuk menghitung seberapa cepat siapa melakukan apa! :)

Keretakan Rumah Tangga #2

Ino dan Bidi (lagi-lagi bukan nama sebenarnya) baru saja menikah. Dan seperti pasangan lainnya, mereka berdua sama-sama bekerja –Ino bekerja sebagai dosen dan Bidi bekerja sebagai salah satu karyawati sebuah perusahaan IT. Tahun-tahun awal pernikahan mereka sangat membahagiakan, setiap hari mereka mengerjakan pekerjaan rumah bersama-sama, bersepeda saat weekends, menonton film baru, dan berbagai hal lainnya. Dan setelah sekian lama berlalu, sebuah hal membahagiakan datang: Bidi pun hamil. Setahun setelah dia melahirkan anak pertamanya, dia melahirkan sepasang anak kembar lagi (produktif sekali mereka, hehehe~). Dan akhirnya Bidi memutuskan untuk berhenti bekerja dan mengurus rumah tangga. Akan tetapi, dia mulai uring-uringan ke Ino karena menurutnya Ino hanya bekerja mencari uang dan tidak pernah membantunya mengurus rumah. Sedangkan menurut Ino, saat dia menawarkan diri untuk membantu, Bidi selalu menolak dan melakukan semuanya sendiri untuk hasil yang terbaik baginya.

Teori Pareto Efficiency

Ada beberapa pilihan untuk pasangan ini, (1) Ino dan Bidi seharusnya bisa mempekerjakan pembantu sehingga Bidi bisa bekerja lagi –yang membuatnya bahagia, (2) Bidi bisa memaksa Ino untuk melakukan setengah pekerjaan rumah tangga yang dibebankan padanya –yang akan membuat Ino merasa keberatan tentu saja. Dan mereka tidak akan menyetjui semua itu. Jadi, mereka bertanya pada Ekoom Cinta dan lagi-lagi sang EC menjelaskan pilihan terbaik mengikuti Teori Pareto Efficiency.

Saat ada delapan potong pizza, aku dan adikku membaginya sama rata –masing-masing mendapat 4 potong. Tapi aku sudah kenyang hanya dengan memakan 2 potong (pencitraan biar aku kelihatan kurus) dan adikku masih lapar walau sudah memakan 4 potong. Jadi aku memberikan dua potongku kepadanya, tanpa aku merasa kurang puas karena bagianku berkurang dan dia merasa puas dengan tambahan bagian itu. Itulah Pareto Efficiency.

Jadi, dengan teori itu, Bidi mulai mengubah pemikirannya. “Jika aku mengerjakan semua pekerjaan rumah tangga selama semingguan ini, maka aku berhak mendapatkan satu malam free untuk diriku sendiri,” tuturnya. Jadi, setiap sabtu malam, Ino harus pulang cepat dan mengambil alih semua pekerjaan rumah sehingga Bidi bisa mendapatkan waktu luang untuk pergi bersama teman-temannya atau apapun yang dia suka. Ino sangat menyetujuinya, dan Bidi lebih dari puas untuk mendapatkan waktu pribadi untuknya sendiri.

Keretakan Rumah Tangga #3

Setiap pasangan perlu mulai berhati-hati jika menemukan beberapa hal di bawah yang masuk dalam kategori ini:

Karakteristik Market Failure

  1. Jika Sang Istri selalu masak makanan yang terlalu asin, terlalu asam, terlalu pedas, atau terlalu manis.
  2. Jika Sang Istri/Sang Suami mengadakan aksi tutup mulut selama tiga hari berturut-turut.
  3. Jika piring terbang selalu menghiasi setiap pertengkaran kecil/besar yang terjadi di rumah.
  4. Jika Sang Istri/Sang Suami serasa hidup sendiri di bulan dan mengacuhkan yang lainnya.
  5. Jika Sang Istri/Sang Suami memilih tidur di sofa.
  6. Dan silakan ditambah sendiri...

Yak! Memang masih banyak sekali masalah yang muncul di mahligai rumah tangga (padahal aku sendiri belum ngerasain juga, hahaha~) dan banyak teori-teori lain yang bisa dipakai untuk menyelesaikannya (misalnya, Sunk Cost! Ini diahas di lain kesempatan yaaa~).

Nah! Ada yang mau coba mengaplikasikan teori-teori Spousonomics (alias teori couple) ini bersama Sang Penulis artikel? Silakan kirim CV atau Short Profile ke andihime@gmail.com under the subject of “Spouse Application” no longer than August 31st, 2012. Only shortlisted candidates notified for further interview. Any inquiries, feel free to send to the same email :)

Kamis, 08 Desember 2011

Cari, Temukan dan Selamatkan. Mungkin Para Tuna Asmara Masih banyak Di Sekitar Anda.

Gambar diubek dari Google
Oleh: Santy Novaria

Pernahkah Anda punya teman-Kau-Tahu-Siapa-yang tetap fokus ‘melototin’ layar monitor pas malam Minggu dengan  alibi bahwa dia tidak bermalam Minggu karena tidak punya pacar sibuk mencari bahan makalah? Lantas apa reaksi Anda? Percaya lalu pergi bermalam minggu begitu gembiranya?

Atau anda pernah ketemu dengan Mas-mas pengkolan yang rambutnya di cat Ungu, berotot dengan bulu kaki lebat tapi berbando dan blush on-an?

Apakah temans pernah merasakan  jadi orang yang berada di contoh kasus pertama? Atau pernah gak mikirin betapa nyeseknya nasib orang di contoh kasus kedua? Pernahkah? PERNAHKAH? PERNAHKAAAHH???!! (Sengaja saya ulang biar efek dramatisnya kerasa).


John Maynard Keynes feat Santy Novaria

Bersyukurlah Keynes punya otak cemerlang yang akhirnya menjadi Ekonom termashyur lalu melahirkan gagasan ekonomi makro, ekonomi moneter dan teori permintaan dan penawaran yang berhubungan dengan output.

Hampir sepakat dengan Om Keynes, saya juga setuju bahwa masalah ekonomi tidak hany melulu soal penawaran, perilaku konsumen, penerimaan, biaya dan laba rugi suatu perusahaan. Tapi lebih ke lingkup yang lebih luas. Pertumbuhan ekonomi, inflasi, investasi, pengangguran dan kebijakan ekonomi. Kenapa kok bisa? Entah, saya lebih setuju aja. Mungkin dampak langsungnya akan terlihat di artikel ini. Mungkin. #MulaiGakYakin

Tidak bisa dipungkiri bahwa salah satu dampak dari pemikiriran Om Keynes yang hebat ini adalah munculnya Pengangguran, yang di zaman Om Adam Smith, sama sekali tidak terpikirkan dan masih belum ditemukannya solusi yang benar-benar solusi sampai sekarang.

Jika dalam teori ekonomi makro disebutkan,  orang yang usianya telah pantas menjadi angkatan kerja dan sedang mencari pekerjaan minimal dalam jangka waktu empat minggu tetapi masih tetap menganggur disebut Tuna Karya yang lebih akrab kita dengan sebutan Pengangguran (unemployment) maka saya mencoba memandang dari sisi yang bedanya cuma dikit.

Ada Apa Dengan Mas Pengkolan? Kenapa harus Mas Pengkolan?

Kemungkinan besar, mas-mas tadi dandanannya belum begitu sampai satu hari dia terjebak Andy Lau (ANtara DYlema dan gaLAU) karena diputusin mbak-mbak pujaan hati dan hampir nyuntikin Baygon cair ke nadinya sebelum Mas Bunga menyelamatkan hidupnya.

Sudah berapa lama dia berteman dengan Mas Bunga? Apa saja yang telah mereka lakukan selama berteman? Berapa tarif yang mereka pasang jika short time? Lupakan!

Kita ibaratkan Mas Pengkolan tadi adalah ‘angkatan kerja’, lalu mbak pujaan hati adalah ‘lapangan pekerjaan’, maka jika dalam waktu lebih dari empat minggu mas pengkolan tadi belum juga mendapatkan pengganti mbak pujaan hati lalu dia menyerah dan putus asa begitu saja, dalam teori ekonomi makro kasus Mas Pengkolan tadi dikenal sebagai discouraged-worker.discouraged-worker.

Tapi dalam istilah Santy Novaria, Mas Pengkolan tadi adalah Tuna Asmara atau yang lebih populer lagi disebut JOMBLO.


Cari, Temukan dan Selamatkan

Dari jaman pelajaran PKn masih PPKn dan PPKn masih PMP, dari jaman PSPB belum jadi pelajaran Sejarah,  kita sudah diajarkan bahwa manusia tidak bisa hidup sendiri. Merugilah orang yang tidak peka terhadap orang lain di lingkungannya.

Lalu apa hubungan unemployment dengan Jomblo?

Jika dalam ekonomi makro, pengangguran punya latar belakang penyebab yang berbeda-beda, begitu juga dengan kisah Mas Pengkolan dan teman yang-Kau-Tahu-Siapa-juga pasti punya alasan tersendiri kenapa mereka lebih memilih mejadi Tuna Asmara.

Selama ini kita terlalu terfokus pada prinsip Permintaan dan Penawaran di ekonomi Mikro yang kita hubung-hubungkan dengan-penyebab-kenapa-mereka-Jomblo.
Oh, mereka Jomblo karena permintaan si calon gebetan terlalu tinggi dan supplier gak kuasa ngimbangin. Jomblo deh..
Gak! Gak Cuma itu temans, mari kita bahas dari versi Ekonomi Makro

Cari
1.      Jomblo Friksional (Frictional Unemployment)

Terjadi karena apa yang kita punya (fisik, kematangan emosional dan materi) tidak sesuai dengan apa yang diinginkan Calon Cem-ceman.
Ditahap Jomblo ini masih berlaku sih penawaran (kualitas yang kita punya) dengan permintaan (keinginan si calon pacar). Tapi cuman dikit. Dikit banget malah.

2.      Jomblo Cyclical (Cyclical Unemployment)

Jomblo musiman. Kita sebut saja begitu, jomblo yang terjadi karena situasi yang berubah-ubah sesuai dengan siklusnya.
Misalnya, dalam satu ruangan ada belasan cowok mendadak jomblo karena diputusin sama pacarnya yang lagi PMS massal. Bawaan ceweknya pengen minta putus aja gak tau kenapa. Bosan liat mukanya, emosi nyium bau keteknya, inilah-itulah.
Tapi jangan khawatir, namanya juga musiman. Ntar juga kalo malem minggu paling si cewek minta balikan lagi.

3.      Jomblo Struktural (Structural Unemployment)

Jomblo yang terjadi karena adanya perubahan yang sangat berarti di struktur kehidupan asmara mereka.
Mereka inilah orang-orang yang dengan kerelaan hati memilih untuk Jomblo dalam periode tertentu.

Temukan

1.      Pelaku Jomblo Friksional.
Mereka adalah orang-orang yang tergabung dalam JOKER.
Bukaaan.. Bukan JOmblo KERen, tapi JomblO Karena kERe.
Mereka adalah Jomblo dengan kualitas dompet ngap-ngapan yang ngotot naksir gadis Mall yang hobbi berburu tas bermerk meski cuma KW13 (saking palsunya), mereka adalah orang dengan kapasitas uang saku ala kadarnya yang pedekate sama cewek doyan nonton di bioskop padahal film bajakannya dijual dipinggiran trotoar. Muahahaha
#MentalMahasiswa  #CurhatColongan

2.      Pelaku Jomblo Cyclical.
Merekalah para JONGOS. JOmblo NGos-ngOSan. Jomblo yang mati-matian minta jangan diputusin dan siap terkena serangan asma ngejar-ngejar pacarnya buat balikan lagi. Malang? Mungkin, semoga kita tidak termasuk.
Hey, kamu! Iya, kamu. Kamu! Pake lirik orang lain.
3.      Pelaku Jomblo Struktural
     Adalah mereka yang mengaku JOJOBA. Yap, mereka yang menghibur diri sebagai JOmblo-JOmblo BahAgia.
Orang yang mengikuti aliran ini, sering sesumbar tidak pernah merasa terganggu dengan predikat jomblo tersebut. Karena bagi mereka lebih baik menjadi Jomblo yang Bahagia dari pada jadi korban perselingkuhan, korban pacaran posesif maupun korban pacaran jarak jauh.

Mereka merasa bebas mau jalan kemana aja tanpa ada yang nelponin tiap menit, nanyain "kamu dimana? Sama siapa? Lagi ngapain?", mereka bahagia karena gak ada pacar rese yang bawel, yang ngurigain, yang marah-marahin, yang ngambekan karena sms gak dibales, yang... cukup. Fokus. #TerbawaPerasaan


Selamatkan.

Setelah kita tahu penyebab Jomblo berdasarkan kategori diatas, tak jauh beda penangannya dengan pemberantasan Pengangguran yang sampai sekarang masih dicari solusi jalan terbaiknya.

1.      Jomblo Friksional (Frictional Unemployment)
Kaum jomblo dalam golongan ini biasanya masih terbuka menerima masukan dari orang lain.

Jangan pernah berhenti mengingatkan bahwa kita hidup di dunia nyata. Tidak ada Pangeran yang benar-benar ingin menikahi Upik Babu. Sadar. Ngaca, kalo kata orang tua. Jarang ada pesta hingga larut malam kecuali di diskotik atau warung remang-remang dan Babu dilarang masuk, kecuali ada muntahan yang harus dibersihkan.

Kalaupun beneran ada, itu mukjizat, mamen!

2.      Jomblo Cyclical (Cyclical Unemployment)

Satu-satunya cara adalah tunggu sampai siklusnya berakhir. Namanya juga musiman.
Kalau gak berhasil juga? Tunggu sampai musim orang nikahan menjamur. Sering-seringlah berbaju Batik dan rapi, pantengin acaranya dari awal sampe kelar, selain dapat makan gratis mungkin ada satu diantara tamu yang senasib dengan anda.

3.      Jomblo Struktural (Structural Unemployment)

Apakah Anda korban pernah menjumpai jomblo tipe macam ini? Agak susah nyelamatin jomblo yang dalam tahap ini karena bisa dibilang inilah jalan yang mereka anggap terbaik buat mereka.

Tapi, hey!
Kenapa anda merendahkan diri anda sendiri? Move on, guys!
Kita terlalu berharga buat terjebak dalam lingkaran sesat kayak gini.

So, What?? Bukan Kiamat ini.

“ Trus, gimana dengan gue yang keseringan Jomblo dari pada punya pacarnya?”
“  Itu derita lo dong.”
HAHAHAHAHA

Gak lah. Becanda. Nikmatin aja dulu jalan anda yang sekarang.
Karena Tuhan selalu tahu apa yang terbaik buat kita. Dia mempersiapkan semua yang akan diberikan untuk kita kalau waktunya sudah tepat. Amiiinn.

Menunggu Pasangan hidup sama dengan menunggu waktunya Wisuda dan make toga. Tak perlu tepat waktu. Tapi menunggu waktu yang tepat.
 #NgelesLevelDewa     #MenghiburDiriSendiri   #MenghindariTopikWisuda

Kalau biasanya di akhir ceramah ada doa sebagai penutup, saya inget satu kata bijak yang entah punya siapa:

“ Love is like a sand in the hand. The more you keep it, the more you lose it.. “

Yang JOMBLO MANA SUARANYAAAA?????


___________________

Catatan Sikil: Terinspirasi dari coretan iseng Raditya Dika

Minggu, 20 November 2011

Apa yang Harus Saya Lakukan Jika Berwajah Jelek, Miskin, dan Tidak Memiliki Masa Depan???

Oleh: Yoga PS untuk Syarif dan Kiki

Apakah Anda termasuk warga JOMBANG (JOMblo ga berkemBANG) dan sekitarnya? Sudah bosan jadi orang KEDIRI? Kemana-mana Sendiri? Atau lagi MAGELANG? MAsa depan Galau dan tak TeLang? Apakah Anda sedang kebingungan mencari pasangan hidup? Apakah Anda masih belum laku-laku juga?

Jika Anda masih belum “sold out”, berarti ada yang salah dengan marketing pribadi Anda. Selain factor nasib, jodoh, dan tampang tentunya (klo ini saia ga ikut-ikut). Untungnya Tuhan menciptakan Philip Kotler, Kenichi Ohmae, Peter Drucker, Jack Trout, Hermawan Kertajaya, Yoga PS, dan ahli2 manajamen pemasaran strategis lainnya. Karena kali ini kita akan menggunakan strategic marketing untuk menjual diri kita sendiri.

Supply demand

Sebelumnya, mari kembali ke konsep dasar dari ilmu ekonomi: permintaan dan penawaran. Ya, mencari jodoh ibarat memasuki “pasar perkawinan” dimana ada supply dan demand. Supply pasangan hidup dan permintaan akan pasangan hidup.

Memang pernikahan bukan hanya transactional benefit, atau semacam legalisasi perzinahan. Ada yang bilang jika menikah adalah membangun peradaban. Kita tidak bisa melakukan simplifikasi proses cinta menjadi jual beli transactional semata. Karena cinta itu buta. Pernah nonton film “Si Cinta Dari Goa Hantu” kan? Dan ada banyak kasus dimana cinta menjadi sangat irrational dan tidak bisa dijelaskan secara logika, kata-kata, dan ekonometrika ekonomika statistika.

Tapi untuk mempermudah pembahasan kita mengasumsikan orang yang ingin menemukan pasangan hidup bersifat rasional dan menempatkan dirinya dipasar. Hampir seperti pasar tenaga kerja. Kita memberikan supply. Dan seperti logika ekonomika, barang yang bagus biasanya memiliki permintaan yang bagus. Sebaliknya, barang yang jelek demand-nya tidak terlalu tinggi.

Tapi tunggu dulu, semua tergantung pada strategi yang kita lakukan. Buktinya ada pria yang ga terlalu ganteng, ternyata bisa jadi playboy. Ada juga wanita yang cantiknya kaya bidadari eh masih single sampai umur 30 an.

Semua hanya masalah pemilihan strategi dan eksekusi. Contohnya Mercedes Benz, jika Anda tidak bisa menjualnya, tetep aja ga laku. Dan meskipun Anda Cuma berjualan Suzuki Carry, jika Anda bisa memasarkannya, tetap bisa laris manis.

Lantas bagaimana caranya?

What should we do?

Secara bego-bego-an, pemasaran berarti melakukan komunikasi yang tepat tentang produk/jasa yang tepat untuk pasar yang tepat. Secara garis besar sederhana, ada tiga:

1. Lakukan Analisa Internal

2. Tentukan Target Pasar

3. Action! Action! Action!

Sebelum pergi ke “bursa perjodohan”, Anda harus bisa menemukan diri Anda sendiri dulu. Apakah Anda sudah siap berpasangan? Apa yang bisa Anda berikan? Feature apa yang bisa Anda tambahkan? Apa competitive advantage yang Anda miliki? Anda harus bisa menjawab pertanyaan sederhana: Hal apa yang Anda punya sehingga pasangan Anda harus menerima Anda?

Analisis SWOT mutlak diperlukan. Apa kelebihan yang kita miliki, kekurangan yang masih harus diperbaiki dan terkadang ditutup-tutupi. Peluang pengembangan diri, dan ancaman dimasa depan. Atau bisa menggunakan 5 Porter analysis yang meliputi kekuatan konsumen (klo target Anda tante2 perawan tua umur 45 tahun, kekuatannya menolak lamaran Anda lebih kecil daripada gadis 17 tahun), kekuatan supplier (Anda sendiri), mudah tidaknya memasuki suatu pasar (naksir bini orang? Pikirin 13x), potensi subsitusi (bisa nyari target lain?), dan persaingan (Punya saingan yang lagi ngejer si doi?).

Anda tidak harus menjadi Superman. Atau memiliki body kaya bintang bokep. Nobody’s perfect. Yang jelas kita harus memiliki competitive advantage. Entah kecerdasan, harta, interpersonal skill, spiritual power, atau besarnya rasa cinta dan rela menerima si dia apa adanya. Kata pepatah China, sungai biar dangkal yang penting ada naganya, gunung biar pendek yang penting ada dewanya!.

Untuk memenangkan persaingan Anda dapat menggunakan rumus 3B. Bukan berdoa, berusaha, dan berkaca (guyonan zaman kapan lagi itu). Tapi Be the first, siapa cepat dia dapat. Jika telat, be the best. Jika tidak bisa? Just be different! Ciptakan keunikan Anda sendiri. Just grow with your own character!!!

Sniper

Yang tak kalah penting tentu saja pemilihan target “pasar” Anda. Karena pasarnya beda, approach-nya berbeda, action-nya juga berbeda. Mendekati akhwat sholeh yang pakai cadar tentu beda caranya dengan ABG sok gaul yang masih belajar nulis sms dengan benar.

Lakukan segmenting, targeting, dan positioning. Tulis kriteria target pasar Anda. Apa pendidikannya, profesi, Socio Economic Class, umur, kepribadian, hobby, hingga kriteria fisik dan lainnya. Suka-suka. Tulis saja dulu. Urusan kesampaian atau tidak itu masalah nanti.

Sudah punya target? Sekarang pelajari pasar Anda. Bagaimana behaviornya, apa seleranya, apa hobbinya, apa yang dibencinya, topic apa yang membuatnya tertarik, bagaimana pola pikirnya, apakah ada “produk pesaing”? bagaimana “market entry”-nya? Komunikasi pemasaran apa yang cocok? Media apa yang bisa digunakan?

Karena target Anda menentukan strategi Anda. Jika “segmen” Anda doyan clubbing ya minimal situ harus tahu siapa DJ yang keren. Klo “pasar” anda penyayang binatang, akan lebih baik jika muka Anda mirip binatang. Hehehe. (Asal prilakunya jangan kaya binatang lho..). Klo “konsumen” Anda anak Kiai ya berarti mulai sekarang Anda harus belajar beneran mengaji dan berhenti “ngaji” (ngajakin jinah :p).

Marketing is just like flirting girl

Gampangannya gini deh:

1. Ada gadis cantik di sebuah pesta. Anda mendatanginya dan langsung bilang, “Saya orang kaya. Nikah sama saya, yuk!” Itu namanya Direct Marketing.

2. Ada gadis cantik di sebuah pesta. Salah satu temanmu menghampirinya. Sambil menunjuk ke arah Anda, temanmu itu berkata, “Dia orang kaya, nikah sama dia, ya!” Itu namanya Advertising.

3. Ada gadis cantik di sebuah pesta. Anda menghampirinya, lalu minta nomor HP. Esok harinya Anda telepon dia dan langsung bilang, “Saya orang kaya. Nikah sama saya, yuk!” Itu namanya Telemarketing.

4. Anda melihat gadis cantik di sebuah pesta. Anda merapikan diri, lalu menuangkan minuman buat dia, dan membukakan pintu buat dia. Sambil mengantarnya pulang, Anda bilang, “By the way, saya orang kaya nih. Nikah sama saya, yuk!” Itu namanya Public Relations.

5. Anda melihat gadis cantik di sebuah pesta. Dia menghampiri Anda dan berkata, “Anda orang kaya, kan? Nikah sama saya, yuk!' Itu namanya Brand Recognition.

6. Ada gadis cantik di sebuah pesta. Anda mendatanginya dan langsung bilang, “Saya orang kaya. Nikah sama saya, yuk!”, tapi dia malah menampar Anda. Itu namanya Customer Feedback.

7. Ada gadis cantik di sebuah pesta. Anda mendatanginya dan langsung bilang, “Saya orang kaya. Nikah sama saya, yuk!”, terus dia memperkenalkan Anda ke suaminya. Itu namanya Demand and Supply Gap.

8. Anda melihat gadis cantik di sebuah pesta. Anda menghampirinya, tapi belum juga Anda sempat bilang apa-apa, ada pria lain datang dan langsung berkata, “Saya orang kaya nih. Nikah sama saya, yuk!' Lalu sang gadis pergi dengan pria tersebut. Itu namanya Losing Market Share.

9. Anda melihat gadis cantik di sebuah pesta. Anda menghampirinya, tapi belum juga Anda sempat bilang, “Saya orang kaya nih. Nikah sama saya, yuk!'.... tiba-tiba istri Anda nongol! Itu namanya Barrier to New Market Entry!!!.

For the Minor

Seperti judul, bagaimana jika saya jelek, item, kumel, kucel, dekil, miskin, pengangguran, ga sekolah, sering masuk penjara, ngentutan, idup lagi! Untungnya para ekonom punya teori dari Jean Baptise Say:

“Every supply creates its own demand”.

Semua penawaran akan menciptakan permintaan. Pasti ADA yang berjodoh dengan kita. Lha wong Babi yang jorok aja bisa punya istri (pasti laku kan :p). Apalagi manusia yang baik, murah senyum, menyebut nama Tuhannya di pagi dan petang, bersyukur, bekerja dalam kebaikan, dan hidup dalam keikhlasan. Mengabdi untuk Tuhan.

Laki-laki yang baik, untuk wanita yang baik. Demikian sebaliknya. Itu aturan Tuhan yang tertulis di kitab suci. Jangan resah. Jangan gundah. Cukup pasrah. Ubah persepsi. Perbaiki diri. Menata hati. Tuhan pasti memberi yang terbaik suatu saat nanti.

Kalo masih belum dapat juga dan capek ditolak, mungkin Anda bisa menggunakan Blue Ocean Strategy. Cari calon yang persaingannya tidak berdarah-darah. Yang ga ada saingannya, biar pun kriterianya dibawah standar awal. Mungkin ini jodoh Anda. Belum cinta? Ingat kata orang Jawa:

“Witing Tresno Jalaran soko ora ono”.

******

*)Padahal saia sendiri lagi nyari calon. Syaratnya: punya vagina (perempuan maksud saya..), harus kuat setiap hari ketawa, dan harus bersedia jadi wanita paling bahagia di dunia dan luar angkasa :D. Jika berminat sms 081 578 6138 75 atau kirim CV singkat ke: emailnya_yoga@yahoo.com sebelum 31 Desember 2012.

Only shortlisted candidate will be notified.

Minggu, 04 September 2011

Saham-Saham [Cinta]


Terkadang kau memulainya sebagai seorang investor dengan puluhan milyar cinta di tanganmu hingga serasa tak akan pernah habis ketika kau menginvestasikannya.

Terkadang bahkan kau tak menginvestasikannya segera, menunggu dan terus menunggu untuk menempatkannya di sebuah perusahaan impian yang tak kunjung tiba, padahal begitu banyak perusahaan yang baik bagimu namun kau tak menyadarinya.

Terkadang kau tak kunjung-kunjung menginvestasikan cintamu karena takut akan resiko yang akan kau tanggung. Padahal kau sendiri sadar bahwa tak ada cinta tanpa resiko.

Terkadang kau dengan mudah menanamkan sahammu pada sebuah perusahaan, namun setelah kau telah merasa mendapat capital gain yang cukup kau dengan mudah mencari perusahaan potensial yang lain.

Namun terkadang kau memulainya dengan menjadi seorang investor yang benar-benar pengaplikasikan teorimu, portofolio. Kau menginvestasikan saham-sahammu pada beberapa perusahaan berbeda.

Beberapa saat setelah kau menanamkan sahammu. Saham-saham itu mulai berkembang, memberikan deviden bagimu. Seberapa bijakkah kau tergantung pilihanmu, menanamkannya kembali sebagai retain earning untuk menumbuhkan perusahaan[cinta]mu lebih besar, atau berpangku tangan menikmati deviden atas saham yang kau tanamkan. Padahal terkadang perusahaanmu sangat berharap akan retain earning[cinta] namun tetap setia memberikanmu deviden meskipun kau tak menambah saham-sahammu di perusahaanmu itu. Perusahaanmu tetap setia mendengarkan pendapatmu, padahal tak jarang membawa mereka kepada kehancuran.

Terkadang kau memulainya sebagai sebuah perusahaan, yang selalu merasa miskin, yang selalu merasa bahwa perusahaanyalah yang paling menyedihkan di dunia ini, yang selalu berharap akan datangnya seorang investor.

Namun terkadang kau memulainya sebagai sebuah perusahaan yang tangguh, yang walaupun tak memiliki tangible asset, namun kau memiliki intangible asset yang hebat. Harga dirimu. Kau tak pernah berharap akan adanya investor yang membantumu. Kau cukup tangguh untuk berjuang sendirian.

Pemilihan permodalan menjadi sebuah dilema. Memilih untuk utang atau menjual saham. Yang menjadi persoalan adalah terkadang mereka yang memberikan modal [cinta] padamu salah mengartikannya sebagai utang, mereka menuntutmu untuk mengembalikannya beserta bunga.

Namun jangan patah arang. Untungnya selalu ada investor berbasis syariah. Yang menanamkan modal kepadamu tanpa mengharap riba, yang terkadang ikut menanggung kerugianmu, setia disaat suka maupun duka.


oleh : Thontowi A. Suhada
*kalau ada analogi yang kurang tepat atau pemakaian kata yang salah mohon dikoreksi yah =)

Selasa, 07 Juni 2011

Ku Tidak Bisa Melupakan Masa Lalu (part 1)


Oleh: Aulia Rachman

Manusia tidak akan pernah lepas dari fase hidup yang nelangsa. Kisah-kisah hidup yang menyedihkan merupakan salah satu bagian yang akan mereka lalui. Benar-benar hal yang menyakitkan jika kita berhadapan pada sebuah situasi bermasalah yang sulit untuk kita selesaikan. Membuat kita terkadang jatuh, lemah, berhenti, terkubur, dan tidak berdaya. Sebanyak apapun teori kebangkitan yang kita miliki, tetap saja kita tidak bisa bangkit dan berlari lagi seperti biasa. Rasa sakit itu pasti akan ada.

Utamanya, masalah manusia adalah masalah CINTA! Ya, sebuah kata yang terdiri dari 5 huruf itu bisa begitu dasyhatnya mengubah hidup kita, jalan kita, dan arah hidup kita (Ohya, maksud cinta di sini antar sesama manusia lawan jenis aja ya, tidak melebar ke mana-mana). Ya, memang cinta bisa menjadi energi besar kita untuk hidup dan bergerak, tapi terkadang ia bisa membuat kita kebingungan, sakit, perih seolah-olah terkadang kita berharap bahwa kita seandainya saja tidak usah mengenal apa itu cinta, atau lebih baik kita segera mati saja. Daripada menanggung kepedihan cinta yang kita lalui.

Mengapa manusia begitu “bodohnya” untuk terbuai dalam cinta? Saya juga tidak tahu, yang jelas satu, ketika ia sudah masuk dalam hidup kita, maka dia adalah bagian dari sejarah hidup kita. Sebuah sejarah yang akan memberikan pengaruh pada perspektif hidup kita di masa akan datang. Bagaimanapun besarnya usaha kita meminimalisasi “sejarah” itu, ia akan tetap hadir memengaruhi kehidupan kita di masa akan datang. Bahkan semakin waktu terus berjalan dan bergulir, sejarah kecil itu akan terus membuat hari-hari kita terombang-ambing, tidak jelas, dan penuh dengan disorientasi-disorientasi…

STOP! Ini Bicara Apa Sih!?
Para pembaca mungkin ada yang sudah protes seperti ini, “Loh salah satu penulis blog Ekonom Gila kok malah curcol (curhat colongan) sih! Kok malah ngomongin cinta dan prahara hidupnya. Bukannya ini blog Ekonomi?”

Para pembaca budiman, mungkin boleh saja sekarang kalian memvonis saya sebagai penggalau, ababil, dan lain sebagainya. Tapi jujur saja ini lah sebuah tulisan paling berat (setidaknya hingga hari ini) yang saya coba ingin carikan penyederhanaannya dalam kehidupan sehari-hari. Ya, sebentar lagi kepala kalian akan pusing dengan penjelasan ekonom(etr)i(ka) yang akan saya sampaikan. Selamat berpusing ria!

Apa yang sedang saya bicarakan adalah sebuah model ekonometrika yang paling melankolik yang pernah saya dengar seumur hidup. Dia adalah Random Walk Model (RWM).  Baiklah, harus saya akui sekarang, para pembaca jika ingin mengerti artikel ini adalah pembaca yang melek ilmu ekonomi, lulus ekonometrika 1, nggak ngantukan waktu kuliah ekonometrika 2 dan tahu apa itu “cabang” dunia Time Series di jagad raya pembicaraan ekonometrika (Ya ya ya, mungkin ada juga dari kalian yang baru denger kata “ekonometrika”, yang sabar yaa…). Ini serius, dan saya tidak bercanda lagi seperti artikel-artikel saya sebelumnya. Jika syarat-syarat di atas tidak terpenuhi, saya tidak jamin anda bisa mengerti! (Sekali-kali saya sadis sedikit sama pembaca, saya lagi kesal dengan “dunia cinta” hahahahaha).

Baiklah, lalu mengapa RWM adalah model paling melankolik yang pernah saya dengar? Model dasar dari RWM adalah sebagai berikut:

Di mana,
Y   : variabel utamanya…(misalnya adalah siapa saya sekarang
t     : periode
u   : “shock” atau guncangan, bahasa kerennya error term, bahasanya ndesonya “kejadian-kejadian sehari-hari”.

Jadi bahasa mudahnya begini, “Saya yang hari ini, adalah saya yang hari kemarin ditambah kejadian-kejadian yang terjadi di hari ini” (kurang lebih lah). Unsur sejarah ada di variabel Yt-1 . Di sana lah sejarah tertulis dalam kehidupan kita. Lalu, bagaimana pun juga analog dengan ungkapan, “Hari esok kita, dipengaruhi oleh apa yang terjadi pada kita pada hari ini”. Kalau dibuat contoh model sedikit "konkritnya" adalah seperti ini… (mari bertambah bingung). Misal ada 6 periode dalam hidup kita...

Periode kesatu
Periode kedua
 
Periode ketiga
Periode keempat
Periode kelima
Periode keenam
 
Nah sekarang perhatikan model yang di sisi kanan yang tersusun di sisi kanan, membentuk sebuah pola bukan?
Lihat u nya yang terus bertambah dari waktu ke waktu, dan itu teruuusssss terjadi dari waktu ke waktu (t). Nah, jika Y adalah apa yang terjadi pada diri kita, maka, postulatnya adalah “Apa yang terjadi pada kita hari ini adalah sebuah akumulasi yang terjadi pada kita di hari-hari yang lampau”, yang kalau disingkat menjadi:

Lalu seorang ekonom pakar ekonometrika bernama Kerry Patterseon berkata dengan sangat romantisnya, random walk remember the shock forever”. Oh betapa melankoliknya. Itulah mengapa hingga hari ini saya jatuh cinta dengan RWM. RWM adalah model yang sangat romantis! Karena model ini menggambarkan dan mencerminkan kehidupan kita sehari-hari. Seenggaknya, karena RWM saya bisa memiliki sedikit passion dalam belajar ekonometrika yang terkenal “hantu” di kuliah Ilmu Ekonomi.

Lalu apa pesan moral dari artikel ini? Apa faedahnya artikel ini? Sabar ya, tunggu part 2 yang beberapa waktu ke depan akan saya tulis. Untuk sementara pahami dulu artikel ini, endapkan, renungkan dan cari pencerahan di dalamnya. Ha ha ha ha... Lagi pula, nampaknya artikel di part 2 akan lebih memusingkan para pembaca yang budiman. Jadi istirahat dulu (bersambung).

7 Juni 2011

NB: episode selanjutnya adalah bagaimana cara kita bisa keluar dari masalah hidup kita yang diterpa prahara cinta...(tentu saja dengan cara-cara ekonometrika).

Sabtu, 21 Mei 2011

Romansa Cinta yang Paling Tinggi bagi Seorang Ekonom (Gila)

Oleh: Aulia Rachman Alfahmy

Oke, silakan kalian mengolok-olok saya lagi galau atau lagi ababil (ABG Labil, walau sudah gak ABG lagi). Tapi jujur saja, dari sekian lama perenungan saya soal cinta dan ekonomi, menurut saya hal inilah yang menurut saya paling menggambarkan apa itu cinta (meskipun sampai hari ini saya tetap tidak tahu cinta itu apa, ouch!). Tidak ada pendekatan ekonomi yang lain yang lebih menyerupai dan menjelaskan tentang evolusi cinta umat manusia. Setelah melakukan perenungan dan kontemplasi tingkat tinggi. Meresapi dan menghayati cinta yang selama ini tertanam di dada saya. Melalui jutaan cobaan, rintangan, duri, dan luka. Akhirnya… Saya temukan postulat-postulat cinta dari pandangan seorang ekonom gila kali ini (lebay abisss!).

Baiklah, ternyata evolusi dan tingkatan cinta saya temukan di evolusi uang. Mungkin bagi sebagian orang ada yang bilang kalau sekarang terjadi dekandensi cinta dan saya lihat ini mirip dengan dekandensi nilai uang pada perjalanan evolusinya. Layaknya cinta yang akhir-akhir ini seperti seolah mudah dimunculkan (kalau jaman dulu ada reality show “katakan cinta”, ada juga realty show 12 cewek merebutkan satu cowok, dsb), demikian dengan uang yang juga muncul dari ketiadaan. Sebelum melangkah ke cerita soal cinta, saya akan mulai cerita dahulu bagaimana evolusi uang dan di akhir bagaimana evolusi uang ini beranalog dengan evolusi cinta (tentu saja, ketika berbicara masalah cinta banyak ruang perdebatan di sana, tapi ikuti dulu ya alur dari saya). Saya banyak menggunakan inspirasi dari buku Rothbard untuk menjelaskan evolusi uang ini.

Kemunculan Uang itu Karena pada Hakikatnya Kita Saling Membutuhkan

Tahap pertama - Oke, awalnya kenapa muncul uang adalah tidak lebih dari sebuah kodrati manusia yang diciptakan berbeda-beda, layaknya laki-laki dan perempuan yang memiliki fungsi biologis yang berbeda sehingga mau tidak mau mereka harus bersatu (bagi yang mau dan dapet! hahahaha), manusia yang berbeda-beda ini pada akhirnya sadar bahwa mereka adalah makhluk sosial dan saling membutuhkan. Ya adanya perbedaan dan keanekaragaman ini, membuat diri kita berujung pada sebuah kegiatan yang dikenal dengan sebutan “transaksi”.

Pada awalnya, manusia bertransaksi dengan sebuah mekanisme yang disebut dengan barter. Seorang petani jeruk membutuhkan baju untuk dipakai, seorang penjahit membutuhkan jeruk agar tidak sariawan dan tidak mudah sakit. Entah bagaimana caranya, pokoknya (ya benar-benar pokoknya!) mereka ditakdirkan oleh Tuhan untuk saling bertemu dan juga bisa sama-sama memiliki keinginan yang saling melengkapi, ini dikenal dengan double coincidence of need. Dalam bahasa ndesonya mungkin seperti ini: kebetulan ganda atas kebutuhan. Bagi saya ini seperti sebuah keajaiban, karena benar-benar syaratnya sangat sulit untuk terjadinya sebuah barter yang hakiki (barter yang benar-benar optimal, atas dasar sama-sama suka dan sama-sama mau!).

Bayangkan si A kebetulan bisa membuat dan atau memiliki X sejumlah minimal sebesar H dan kebetulan juga sedang membutuhkan Y sejumlah I. Di sisi lain si B kebetulan bisa membuat dan atau memiliki Y minimal sebanyak I dan kebetulan juga sedang membutuhkan X sebanyak H (pusing kan bacanya!). Atas takdir Tuhan lagi-lagi kebetulan mereka, A dan B, bertemu dan melakukan barter! Voila, bisa dilihat berapa kata “kebetulan” yang saya pakai untuk menjelaskan barter ini? Satu saja syarat/kondisi itu tidak ada, maka barter tidak akan pernah ada.

Konsekuensinya apa? Kegiatan ekonomi baik barang dan jasa akan sangat terbatas. Kegiatan ekonomi hanya diperuntukan bagi mereka yang benar-benar beruntung dan mendapatkan anugerah dari Tuhan atas kenikmatan bertransaksi ini. Seorang dosen, yang sedang ingin jeruk, akan sangat sulit mencari tukang jeruk yang mau menukarkan jeruknya kepada dosen dengan sebuah kuliah 3 SKS. Dosen tidak akan pernah menemukan kebutuhan hidupnya dengan barter, maka wajar dahulu tidak ada dosen karena dosen tidak akan mendapatkan kenikmatan bertransaksi ini dari Tuhan.

Tahap kedua - Oke kali ini entah mengapa manusia berinovasi untuk mengatasi masalah barter ini, dan hal inilah cikal bakal alat yang nantinya dikenal dengan sebutan uang. Jika barter tadi saya gambarkan secara utopis dan “sakral” maka dengan akal manusia, mereka mampu memanipulasi ini dengan sebuah transaksi “tidak langsung”. Anggaplah tadi, tukang jeruk membutuhkan baju, tapi si tukang jahit bukan membutuhkan jeruk, dia lebih membutuhkan beras (sebuah komoditas yang memiliki daya jual yang lebih tinggi karena lebih dibutuhkan). Apakah ini berarti si tukang jeruk tidak bisa mendapatkan baju dari tukang jahit? Tidak, dengan sedikit usaha, dia menemukan petani beras, yang sedang membutuhkan jeruk (yap! Lagi-lagi ini juga masih sebuah kebetulan). Dia tukar jeruk dengan beras, lalu dengan beras yang dia punya dia menukarkan dengan baju. Nah, di sini tukang jeruk bagaimanapun pada akhirnya bisa memuaskan hasrat kebutuhannya tanpa harus memiliki persis sama apa yang dinginkan oleh tukang jahit.

Bagaimana dengan kisah si dosen? Hahahaha mungkin juga tetap bisa, tapi dia butuh usaha lebih keras, dengan mencari tahu apa yang dinginkan tukang jeruk, lalu mencari orang yang memiliki apa yang diinginkan tukang jeruk yang sedang membutuhkan kuliah 3 SKS. Proses barter tidak langsung ini bisa melibatkan lebih dari tiga pelaku dan bisa menjadi kompleks, tapi dari kompleksitas itu akan muncul sebuah solusi.

Sekilas ini memang terlihat seperti barter biasa saja, hanya lebih bertingkat, tapi tanpa sadar sebenarnya manusia memasuki pada sebuah pengetahuan baru bahwa sebenarnya ada sebuah komoditas yang memiliki daya jual tinggi, berterima umum, sehingga bertransaksi  tidak harus melewati kondisi double coincidence of need. Seiring perjalanan waktu, manusia mencari komoditas yang mudah ditukarkan dan memiliki daya jual tinggi ini. Nah, pada akhirnya komoditas berevolusi menjadi sebuah komoditas yang berspesialisasi sebagai alat tukar.

Sejarah menunjukan contoh-contoh anehnya, misalnya tembakau di Virginia ketika masa kolonialisasi, gula di India Barat, garam di Abyssinia, ternak di Yunani Kuno, paku di Skotlandia, tembaga di Mesir Kuno, dan lain sebagainya di beberapa belahan benua lainnya, seperti gandum, manik-manik, teh, cangkang dan bahkan mata kail! (Rothbard, 1963). Apa yang menjadi ciri umum dari komoditas-komoditas ini? Salah satunya adalah adanya sifat divisible alias mudah dipecah belah. Logis, barang yang mudah diatur satuannya ini akan lebih mudah dipilah-pilah tepat sesuai dengan keinginan transaksi. (bayangkan lagi si dosen, apakah barangnya berupa “3 SKS kuliah” termasuk barang yang divisible?).

Nah, barang-barang yang punya daya jual tinggi (termasuk di dalamnya adalah tidak mudah rusak, dinginkan orang banyak, dsb) dan punya sifat divisible yang tinggi adalah yang akan menjadi juara komoditas alat tukar. Siapa juaranya? Sepanjang sejarah tercatat dua komoditas handal, emas dan perak. Inilah yang secara alamiah pada akhirnya membuat manusia menggunakan emas dan perak sebagai sebuah benda yang dikenal dengan “uang” untuk bertransaksi. Selamat tinggal ritual sakral barter, sekarang kita memiliki sebuah “representasi” baru yaitu uang emas dan perak. Bayangkan lagi si dosen yang ingin jeruk dari awal cerita, akhirnya dia sekarang dengan mudah mencari orang yang punya emas dan perak dan mau ditukarkan dengan “3 SKS”nya. “Berikan saja saya emas, nanti dengan emas saya beli jeruk dari petani”. Menjadi dosen adalah hal yang mungkin saat ini, selama dia memiliki uang, dia bisa mendapatkan apa yang dia inginkan (jeruk!).

Tahap Ketiga – Ini adalah fase yang saya kenal dengan “kepercayaan di atas kertas”, inilah yang pada akhirnya akan menciptakan kertas bahkan kartu kredit, sudah dijelaskan oleh Yoga P.S di artikel Credo. Namun simpelnya seperti ini, pada mulanya emas yang ternyata kalau sudah banyak berat dan tidak praktis di bawa ke mana-mana, akhirnya di simpan di tempat penyimpanan emas. Nah tempat penyimpanan emas ini akan mengeluarkan nota, kepemilikan emas di atas sehelai kertas. Kertas ini lama-kelamaan berevolusi menjadi sebuah “uang” pula dan ini lah yang menjadi cikal bakal uang kertas. Uang kertas berbasis emas, inilah yang terjadi bahkan hingga masa Depresi Besar Tahun 1930 yang melahirkan sistem Bretton Wood (menggunakan dolar sebagai uang tautan bersama dan dollar dijamin dengan sejumlah emas).

Namun demikian pada praktiknya, gudang penyimpanan emas tadi berevolusi menjadi Bank (bisa baca artikel menarik di sini dengan cerita yang lebih detail). Dengan cadangan emas yang ada di gudangnya, pelan-pelan dia mengeluarkan “nota bukti penyimpanan emas” a.k.a uang tanpa ada sandaran emas lagi. Bank mengatakan pada masyarakat, “pakai saja ini, toh kami benar-benar ada emas di gudang kami”. Masyarakat toh tetap percaya atas apa yang ada di atas kertas, tidak masalah. Nah, inilah yang saya sebut dengan era uang berbasis “kepercayaan di atas kertas”.

Akhirnya semua berujung pada semua jenis uang berbasis kepercayaan di atas kertas. Uang yang sekarang ada di dompet Anda adalah bentuk kepercayaan Anda terhadap pemerintah, bank yang dulu gudang emas tidak lagi menggunakan emas untuk menyimpan dan memberikan pinjaman, cukup uang kertas. Ya semua adalah atas dasar kepercayaan! Belakangan yang trendy akhir-akhir ini adalah kartu kredit.  Sadar atau tidak, itu juga uang! Atas kepercayaan bank terhadap nasabah melalui slip gaji, atas kepercayaan merchant terhadap bank, maka kartu kredit sebagai bentuk turunan dari turunan uang ini muncul. Jika dihayati lebih dalam, sebenarnya uang-uang ini adalah utang manusia terhadap alam nyata (utang dalam dunia finansial terhadap sektor riil, waduh bahasa saya njelimet ini).          

Tahap ketiga evolusi transaksi inilah yang paling menimbulkan masalah, mulai dari yang paling ringan, yaitu inflasi hingga yang paling buruk yaitu depresi ekonomi.  Karena ketika kepercayaan tidak dijalankan dengan amanah, maka muncullah ketidakseimbangan dalam perekonomian. Maka muncullah self-adjustment alam perekonomian berupa koreksi-koreksi yang terkadang menyakitkan. Ekonomi dengan turunan-turunan ini bisa meroket dengan kencang, tapi juga dengan risiko yang besar.

Lalu Apa hubungannya dengan Cinta?
Oke cukuplah sudah dengan “kuliah” moneter yang saya tulis di atas, yang di sana akan banyak sekali pembahasan bercabang-cabang dan merumitkan (yang pastinya membuat Anda semua tidak mengerti, dan cuma saya yang mengerti, hahahaha). Mari kita masuk ke dunia kegilaan saya soal cinta. Dimulai dari tingkat kecintaan yang paling “rendah” hingga yang paling “haikiki”.

Pertama, Cinta kartu kredit. Kartu kredit kalau bisa dikatakan sebuah nilai uang yang muncul paling dekat dengan sebuah wilayah kehampaan, ketiadaan, tidak ada fundamentalnya. Kartu kredit adalah bentuk uang yang belakangan muncul. Hanya bermodalkan apa-apa yang di atas kertas (selip gaji) dan sebuah kartu plastik, orang sudah percaya bahwa ia memang berdaya dan memiliki uang. Akhirnya punya hak untuk beli motor dan mobil walau pun sebenarnya duitnya belum ada. Semua, serba beres dengan kepercayaan atas informasi yang ada di atas kertas.

Bagi saya ini seperti halnya fenomena cinta yang ada di abad 21. Cinta yang timbul karena kita melihat foto profil seseorang di facebook. Wah cakep! Jatuh cinta saya. Bisa juga hubungan cinta yang ada di situs-situs perjodohan. Ya! Hanya sebuah informasi di depan layar yang terlihat kredibel, kita bisa jatuh cinta. Tanpa kita peduli apa itu cinta, kita hanya jatuh cinta pada apa yang ada di atas kertas (ingat dengan “fase kepercayaan di atas kertas”?).

Jika di ekonomi fase kepercayaan di atas kertas adalah yang paling bermasalah dan berisiko, pun di dunia percintaan. Mengapa? Karena ternyata jika ada sebuah pemalsuan atas kepercayaan ini, maka hancurlah sudah cinta itu. Kalau mau bukti nyata, oke ada! Beberapa waktu yang lalu seorang bisa salah menikahi istrinya yang ternyata juga seorang laki-laki (WT F***!). Tahu kenapa? Karena mereka berkenalan dari Facebook! Ya, dunia maya dan jejaring sosial memang membuat dunia percintaan manusia menjadi “tumbuh” dan dinamis laiknya perekonomian modern. Seseorang mampu menemukan jodohnya di belahan bumi yang jauh sekalipun belum pernah bertemu. Tapi, tanggung sendiri resikonya.

Kedua, Cinta Representatif, untuk menemukan cinta terkadang pada satu titik seseorang sudah tidak lagi membutuhkan yang namanya emosi dan perasan cinta dari lawan “transaksinya”. Bahasa mudahnya “cukup dengan dirimu memiliki sebuah hal yang memiliki nilai tawar tinggi dan berterima umum di peradaban, maka akan kuberikan cintaku padamu”. Apa itu sekarang? Uang! Atau lebih tepatnya di power of money, maka tidak heran jika ada argumen muncul bahwa woman loves money, karena dengan money, transaksi cinta dengan pujaannya bisa sedemikian rupa diakomodasi walau sang pasangan belum tentu memberikan dia juga cinta. Karena mungkin saja uang dengan kekuatannya yang luar biasa, ditangkap dan dikonversikan seseorang menjadi rasa sayang dan cinta. Hingga muncul pantun jenaka, “Ada uang abang kusayang, gak ada uang Abang kutendang!”. Hahahahahahaha! Akhirnya cinta hanyalah representatif dari uang.

Mungkin itu hanya salah satu contoh saja dari transaksi cinta di kehidupan manusia ini. Contoh lain bagi pria, representasinya adalah “kecantikan”. Tidak peduli apakah wanita memberikan cintanya atau tidak, yang penting cantik dulu lah. Nah, kecantikan dan uang ini terkadang menjadi sebuah kombinasi tidak langsung, akan bersatunya cinta itu sendiri. Masih ingat dengan transaksi barter tidak langsung? Kurang lebih demikianlah cinta pada fase ini. "Saya butuh cinta dan saya punya uang, akan akan kubeli cintamu dengan uangku”, kata seorang dosen yang baru mendapat uang hasil mengajar “3 SKS”nya. (Namun demikian, bagi wanita masa lampau, mungkin bukan mencari pria yang punya uang tapi punya kekuatan sehingga bisa dilindungi dari serangan musuh).

Ketiga, Cinta Sejati Ekonom (gila), sampai juga akhirnya kita pada cinta sejati pada tulisan kali ini. Apa itu para pembaca yang budiman! Ya Cinta yang beranalog dengan fase barter di jaman lampau umat manusia. Mungkin bisa juga disebut dengan Cinta double coincidence of need. Saya membutuhkan sesuatu yang saya sebut dengan X dan saya memiliki Y, sebaliknya, Dia memiliki X dan membutuhkan Y. Kami bertemu dan kami saling jatuh cinta! Cinta yang manis dan indah! Mungkin bahasa gaulnya sekarang adalah “antara kami berdua ada sebuah click” yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata, yang keindahannya hanya bisa dijelaskan oleh dua orang yang sedang jatuh cinta ini. Ini lah pengertian cinta yang hakiki menurut saya sebagai seorang penulis blog Ekonom Gila. Hahahaha...

Namun demikian, laiknya dunia di saat era perekonomian barter, tidak semua orang bisa merasakan cinta ini. Adalah sebuah kebetulan dari kebetulan yang langka. Apalagi terkadang kita walaupun tahu membutuhkan X dan memiliki Y, tapi kita tidak pernah bisa mengidentifikasi apa itu sebenarnya X dan Y secara jelas. Kita hanya bisa merasakan tanpa tahu apa itu. Hal tersebut benar-benar abstrak. Maka tidak heran, jika mungkin hanya sedikit orang yang bisa merasakan cinta yang paling unik ini di era modern sekarang. Toh, meskipun kondisi-kondisi “barter” sudah terpenuhi, kalau ternyata Tuhan menakdirkan bahwa kedua insan ini tidak bertemu, maka tidak akan terjadi “transaksi” atau “perjodohan”. Belum lagi masalah-masalah lain yang bisa menghambat cinta “barter” kedua insan ini.  

Ah, akhirnya saya sadar mengapa selama ini, Adam Smith, Bapak Ekonomi Modern, tidak pernah menikah. Mungkin baginya cinta itu seperti barter, ketika gagal dengan idaman hati, dia tidak pernah menemukan penggantinya yang tepat, dan Tuhan pun menakdirkan dia tidak bertemu dengan pasangan barter hingga akhir hayatnya. Mungkinkah Adam Smith juga terkena penyakit Cinta “barter” ini? Sungguh sebuah romansa cinta yang paling tinggi bagi seorang ekonom gila.

21 Mei 2011
NB: Mungkin dalam arti luas kepada Allah SWT dan kaitannya dengan Manusia masih belum bisa aku jelaskan dalam ilmu ekonomi. Hal itu lebih kompleks, mungkin Fisika Quantum bisa menjawabnya, hehehehhe