Tampilkan postingan dengan label intermezo. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label intermezo. Tampilkan semua postingan

Kamis, 01 Maret 2012

Hallyu: Demam Korea, Wabah Cute

Girls Generation
Annyeonghaseyo!!!!

Hallyu atau Korean Waves (gelombang Korea, atau lebih ekstrimnya demam Korea) sedang menghipnotis jagat raya. Term "Korea" yang dimaksud adalah negara Korea Selatan, dengan pesona ke-cute-an artis-artisnya. Saya bukan seorang penggemar berat apalagi pengamat hallyu, hanya lagi iseng aja pengen tau dan kebetulan sudah ada 2 kali perdebatan terkait topik ini di grup Ekonom Gila, jadi hanya mencoba memadukan.

Hallyu dimulai dengan kesuksesan drama korea, seperti: Winter Sonata, Dae Jang Geum, Stairway to Heaven, Beautiful Days dan Hotelier. Di Indonesia, diawali dengan pemutara Endless Love. Dan selama 2008-2008 serial BBF (Boys Before Flowers) banyak menyita perhatian. (wikipedia)

Hallyu dan kontribusinya 
Ekspor berupa budaya Korea (makanan, pakaian, games, bahasa) pada tahun 2011 diperkirakan mencapai USD 3,8 M atau meningkat 14% dari tahun lalu. (wikipedia)

Seleb cowok Korea dibayar paling mahal di dunia, setelah artis Hollywood. Contoh: Bae Yong Joon rate-nya USD 5 M untuk 1 film. Rate ini tertinggi di Asia. (wikipedia)
Kedua fakta ini cukup membuat tercengang. Kebudayaan bisa dianggap sebagai sesuatu yang abstrak, meskipun dijewantahkan (diwujudkan) dalam suatu bentuk fisik seperti: makanan khas, tren pakaian, buku bahasa, games, dll. Mungkin secara common sense kita dapat mengklasifikasikan barang tersebut adalah kebutuhan tersier, namun ekspornya meroket berkat demam Korea. Yang dapat diidentikkan dengan fenomena ini adalah penjualan manga Jepang, kira-kira begitu.

Boyband/girlband = labor, product, marketing?

Maraknya girlband/boyband asal korea, sebut saja: Girls Generation, Bigbang, 2ne1, Kara, dll dan diikuti dengan menjamurnya di negeri kita dengan berbagai style, seperti: SM*SH, Cherry Belle, 7icons, dll nggak membuat para pendatang baru merasa pasar musik K-Pop sudah penuh sesak. Ada supply, ada demand. Banyak yang suka, gitu simple-nya. Saya sendiri suka Cherry Belle (ya nggak sampe nge-fans) walopun kalo didenger-denger liriknya, apaan seh ini x_x

Enak didengar, ceria, sarat modernitas. Apalagi kalau dilihat di layar kaca, meskipun lip-sync, tapi bikin gemes. Yah lama-lama eneg juga sih... xixixi... nah, yang pernah jadi topik pembahasan kita di grup (buset ternyata tuh bahasan taon lalu). Begini: 
Dalam konsep ekonomi, boyband atau sejenisnya itu dipandang sebagai labor intensive atau padat karya. Kalau band itu capital intensive atau padat modal. Jadi boyband dan sebangsanya itu lebih baik bagi bangsa kita karena akan menyerap banyak tenaga kerja ~ by Sandy
Bagaimana menurut kamu??? Boyband itu produk atau input? Atau keberhasilan marketing?
Boyband di korea mereka diperlakukan sebagai produk dengan persiapan peluncuran mereka ke pasar (sampai membutuhkan 3-4 tahun) bahkan ada sekolah khusus untuk mereka. Dan para anggotanya adalah input terbesar, karena mereka yang bernyanyi dan menari.
Apakah seide dengan saya dan Desty?


"Menjual" Hallyu

Kepopuleran Hallyu menjadi daya pikat tersendiri untuk memasarkan barang, tapi adakalanya harus diperhatikan dengan seksama. Seperti yang pernah EG bahas, memasang tampang Korea saja nggak cukup menjamin kesusksesan peningkatan penjualan melalui promosi lewat iklan. Simak celoteh tentang Won Bin dalam iklan LG di sini.

Lantas, apakah Indonesia dapat mengikuti jejak Korea dengan menggunakan boyband/girlband dan drama sebagai ujung tombak? Atau kita harus menjual: batik, tempe, reog yang sudah dipromosikan di negeri lain? Atau mau konsen jualan film horor???

Ada yang pernah nulis: senjata ampuh Indonesia itu adalah UMKM (di sini), apa kita mau jadikan UMKM sebagai tren dan mengekspor hasil UMKM keluar negeri (ini berarti mengangkat muka bersaing dengan China bukan sih?) Ataukah dengan kekayaan alam kita mau mengembangkan tourism (bersaing dengan Malaysia, simak keberhasilannya dalam Country Marketing)

Yang jelas, Korea telah sukses menjual Hallyu, kitapun ikut "menjual" Hallyu versi Indonesia tanpa memikirkan menjual yang lain #miris

Selasa, 28 Februari 2012

Menjadi Seorang Akuntan Publik



Banyak hal yang membuat orang "mengambil jurusan Akuntansi". Kalau merenung-renungkan obrolan dengan teman-teman masa kuliah dulu, ada yang karena orang tuanya akuntan, karena ingin mendapat pekerjaan di bidang Akuntansi, karena memang cinta akuntansi sewaktu SMA (nyata loh ini, pas SMA udah baca Warren yang tebelnya ampun-ampunan itu), ada yang bingung mau ngambil jurusan apaan, ada juga yang beralasan ga logis (ya, saya!). Apapun alasannya, setiap hari kita akan disuguhkan menu bacaan akuntansi-akuntansian, jadi pasrah aja. Hahaha...

Seiring berjalannya waktu, kita nggak hanya sekedar belajar ilmu Akuntansi -- yang kadang menyenangkan dan kadang menyedihkan, tergantung yang ngajar, beserta serba-serbinya. Salah satunya tentang profesi yang dapat kita pilih untuk jalani nantinya, selengkapnya sudah pernah dibahas di EG (promosi :p), here's the link.

Menjadi Seorang Akuntan Publik: Curhat dan Tips

Akhirnya saya bercita-cita betulan juga di semester III, saat kuliah pertama Auditing. Auditor tampak sebagai pembela kebenaran dan keadilan, keren gitu lah. Jadi agak rajin belajar deh demi meraih cita-cita (mahasiswi macam apa saya ini sebenarnya?) Namun kenyataan yang tampak saat tes-tes masuk KAP (Kantor Akuntan Publik) di depan mata, ikut tes dan lulus adalah sebuah "cadangan" kalau-kalau nggak bisa masuk dalam perusahaan TOP. Seolah-olah ya, bekerja sebagai akuntan publik (auditor) adalah sebuah pilihan terakhir daripada mengganggur.

Selain tes massal yang diadakan KAP bersangkutan di universitas, bisa apply juga kok untuk dites. Biasanya yang menjadi KAP incaran orang-orang (dan pengincar orang-orang?) adalah 4 KAP terbesar di dunia, yang dikenal dengan BIG 4: PWC, EY, KPMG, Deloitte. Googling aja untuk nemu situs masing-masing, dan cari cara bergabung, misalnya: untuk apply menjadi auditor KPMG.

Setelah dinyatakan lulus tes tertulis (Akuntansi, Bahasa Inggris, Logika), ada 2 tahapan interview yang akan dijalani: interview user dan interview partner. Interview user maksudnya: interview oleh upper-line (atasan) kita nantinya (level supervisor dan manager). Tipsnya: berpakaian dan bertutur kata seperti auditor supaya lulus. Setelah lulus, masuk ke interview partner (posisi puncak dalam KAP) dan biasanya sekaligus tandatangan kontrak kerja.

Start and Survive

Sebagai anak baru di KAP, bisa bernafas lebih lega karena banyak teman senasib. Dalam masa probation (percobaan) selama 3 bulan, datang tepat waktu, rajin-rajin belajar, rajin-rajin berteman. Bersyukurlah kalau belum ada kerjaan.



Selain training, untuk dapat gambaran dalam pekerjaan nantinya bisa liat-liat kertas kerja yang pernah ada. Yang dimaksud dengan kertas kerja di sini adalah kertas kerja auditor, berbeda dengan kertas kerja dalam proses akuntansi. Simple-nya kertas kerja itu adalah hasil kerjaannya auditor, berisi: tujuan audit, analisis dan temuan. Dan kertas kerja nggak harus berbentuk lembaran kertas, pada umumnya dalam excel file.

Umumnya pada antusias kalau dapat kerjaan, meskipun ujung-ujungnya stress... hehehe... Nggak serem kok, bisa dibilang kerjaan itu seperti: ngisi kuesioner, bantuin bawa barang, bantu fotocopy/scan, request stationary, bantu angkat telpon, bikin worksheet, atau footing. Worksheet itu semacam perbandingan semua accounts (items), yang dibandingkan adalah angka current dengan periode tahun lalu. Perbandingan tersebut dibuat persentase kenaikan dan penurunannya. Footing adalah menjumlah dengan kalkulator, mengecek ulang (memastikan) gitu penjumlahan Audit Reports udah bener, lah terus kalau salah? Lapor sama yang nyuruh bagian yang salah.

Itu bagian awal, setelah masa-masa indah itu berlalu... tepatnya setelah fieldwork (kerja lapangan), maksudnya ke klien, minta data, dan melakukan audit, sampai kertas kerja jadi dan direview; barulah terasa "menjadi seorang auditor" itu gimana. Untuk survive dan merasa betah, selain adaptasi dengan tim audit (sehingga suasana kerja menyenangkan dan bukannya tambah tertekan), butuh kecepatan belajar dan kecakapan membaca situasi (interpersonal skill). Most of all, harus bisa dapatin data, segera cek validasinya, dan sebisa mungkin di klien (saat fieldwork) semua persoalan clear. Beres-beres hal kecil seperti rapi-rapi bisa dilakukan belakangan.

Kapan saat yang tepat untuk berhenti?

Yang biasanya menjadi keluhan adalah jam kerja yang tinggi, beban kerja yang berat, situasi yang nggak bersahabat sehingga merasa seperti di neraka. Namun demikian alasan resign paling tepat adalah: menemukan pekerjaan dengan payout dan popularitas yang (lebih) bergengsi, menjalankan bisnis ortu, lanjut sekolah lagi (di luar negeri), dan alasan pribadi (seperti: menikah).

Namun demikian, kalau menuruti logika dan bukan emosi atau perasaan sesaat, ada waktu yang tepat untuk resign:
  • Setelah 1 tahun bekerja. Dengan demikian merasakan 1 siklus penuh, hingga saat evaluasi dan ikutan outing. Tapi kalau ada tawaran yang lebih menggiurkan, boleh dipikir-pikir bagusnya gimana.
  • Paling umum adalah setelah "promote", sehingga kalau-kalau nanti akan join lagi (rejoin) akan masuk ke posisi terakhir. Logikanya terhitung sudah naik kelas gitu pas berhenti.
  • Akhir tahun. Keuntungannya: dapat THR (bagi non-muslim dapat THR akhir bulan Desember). Selain itu, saat akan pelaporan pajak penghasilan untuk tahun pajak berikutnya, nggak harus ngurusin pengambilan Lampiran SPT di dua atau lebih perusahaan. 
  • Secepatnya. Kalau sudah tersiksa fisik dan mental.
Biasanya, nilai tawar auditor jebolan KAP lumayan kok. Kalau memang mau menjadikan batu loncatan dan cari pengalaman, nggak rugi bekerja di KAP selama 1 atau 2 tahun. Untuk dapat langsung masuk dalam middle management dengan status jebolan KAP, usahakan bertahan lebih lama (sekitar 5 tahun), saat sudah mencapai posisi Supervisor.

Jadi, tertarik dan tertantang untuk Menjadi Seorang Akuntan Publik?

Jumat, 13 Januari 2012

Punya Ide Bisnis yang Menggiurkan???

Alasan resign??? Kebanyakan orang sih resign karena sudah dapat "yang lebih baik". Xixixi... itu sih urusan masing-masing yah kalau merasa dapat yang lebih baik. Kebanyakan karyawati resign dengan alasan: akan menikah. Kalau saya? Pengen coba usaha sendiri, walaupun nggak yakin-yakin amat dengan tingkat kesuksesannya. Jaman itu, saya diwanti-wanti untuk tetap bertahan kerja sampai yakin bisa berdiri sendiri. Bahkan, apa salahnya bisa dapat 2 sumber income? Tapi memang dasar pengennya nggak terikat dengan aturan 8 to 5 (atau sejenis), saya milih untuk resign setelah bertahan 2 tahun 9 bulan di kursi auditor.

Warnet: Yang pernah diobrolin, direncanain, dipikirin, dan kenyataan

Pernah saya membahas untungnya bisnis internet dalam Netnomics, kayaknya bisnis warnet (untuk game online) itu menguntungkan banget. Yup, ini kalau kita memulai bisnisnya jaman internet belum murah. Untung saja saya nggak "tercebur" dalam bisnis ini. Sempat bikin hitung-hitungan, yang sampai sekarang nggak kelar-kelar. Hahaha... niat nggak sih ini?

Kalau boleh curcol :D awalnya saya ingin punya bisnis karena warnet-warnet yang saya jelajahi. Ada yang tempatnya enak, tapi lemot. Ada yang murah, tapi jorok. Ada yang enak dan murah, tapi jauh. Ada yang berisik, ada juga yang key-nya nggak enak, ada yang kursinya somplak kayak digigit tikus, ada yang OP-nya sadis, ada juga yang AC-nya dingin banget sampe menggigil dan ada juga yang remang-remang. 

Ada salah seorang rekan kerja yang menjadi tertarik dengan investasi dalam bisnis warnet ini, tapi ada satu permasalahan yang membuat saya angkat tangan pula, soal tempat. Mau cari tempat di mana? Akhirnya tetap saja bisnis valas dan emas yang merupakan primadona rekan saya tersebut menjadi tak terkalahkan keuntungannya.

Kenyataannya, setelah saya boleh berbincang informal dengan salah satu pemilik warnet yang memulai di tahun 2009, selama 2 tahun memang diakui modal telah kembali. Tapi ya kondisinya sekarang ini nggak terlalu menguntungkan. Sedikit pendapatan yang melebihi biaya operasional. Banyak konsumen yang sudah beralih dengan memasang internet pribadi. Bahkan kalau memulai bisnis warnet sekarang sudah terlalu terlambat.

Warung Kopi: mini food court

Fenomena bisnis warung kopi (warkop) mulai saya amati sejak berada kembali di pulau Sumatera. Selama di Jakarta sih, nggak ada kepikiran untuk punya warung kopi. Nongkrong sambil jajan ya di JCo, Sour Sally, Dunkin, Pizza Hut, Ichiban Crepes, Hop Hop. Kalau nongkrong sambil makan ya tetep aja di mall atau pinggiran mall. Sangat jarang dan hampir nggak nemuin yang namanya warkop, adanya warteg, warung burjo dan penjual bergerobak.

Bisnis warkop umumnya menyediakan minuman yang general (teh, kopi, susu, teh kembang, teh susu, kopi susu, milo). Soal makanan, ada bermacam variasi, paling umum mie pangsit, mie-nasi-bihun-kuetiaw goreng. Ada juga yang menyediakan menu-menu khusus seperti soto, bubur, lontong, sate, gado-gado, nasi hainam, ketoprak, nasi uduk, dan kue-kue atau cemilan lainnya. Warkop nggak terlalu mahal, makanannya standar, pelayanannya standar, dan esensi utamanya adalah makan di tempat yang lumayan bersih. Untuk ngobrol, selama nggak ada yang merokok di sekitar kita sih oke-oke aja.

Menurut pandangan saya, bisnis warkop ada foodcourt dalam skala mini. Kalau saya akan berbisnis warkop, maka saya akan memilih sebagai penyedia tempat dan minuman, sementara untuk makanan sih mendingan juga bagi hasil. Misalnya dari semanggok mie yang dijual oleh penjual lain yang numpang jualan di warkop saya, maka saya dapet 1000 rupiah. Just as simple like that, nggak mau pusing masak-masak.

Suvenir dan undangan: estetik dan fungsi

Sering nggak sih kita mendapat suvenir acara atau pernikahan yang bukan barang jelek tetapi nggak mau juga kita pakai? Begitu juga undangan pernikahan, banyak yang bagus-bagus sehingga sayang saya buang, tapi nggak tau juga kalau disimpan buat apaan. Masih memikirkan tetang suvenir dan undangan yang dapat digunakan kembali dan bukan sekedar pemborosan yang nggak berarti.

Pertama, tentang suvenir. Kebanyakan handmade. Bisa sih digunakan, seperti gantungan kunci atau tempat handphone, tapi yaaaaaa nggak setiap menerima yang begituan kita akan menggunakannya bukan? Barang yang mass product sih lebih terpakai oleh penerimanya, seperti: pengharum ruangan, botol Tupperware, centong nasi, sumpit. Tinggal pengemasan yang menarik agar barang yang mass product itu dapat cantik sebagai suvenir. Estetik dan fungsi yang berimbang bukan. Kira-kira sih kalau akan terjun ke bisnis ini maka saya nggak menggunakan barang handmade yang fungsinya hanya estetik belaka, tapi kalo pengemasan mass product doang, terlalu mudah untuk ditiru.

Kedua, tentang undangan pernikahan. Undangan yang sederhana menyiratkan pesta yang biasa saja, tetapi undangan yang super bagus (dengan karton tebal, kertas wangi, puisi cinta, bahkan print-out foto kedua mempelai) adalah sesuatu yang berguna untuk mengesankan saja. Lebih dari itu, adalah sebuah pemborosan yang terselubung. Sebenarnya ya, di era digital ini, apa sih salahnya mengundang dengan media sms, bbm, pm ke fb, atau meng-create event di fb. But somehow, saya juga nggak mau datang tuh kalau nggak terima undangan yang printed-out. Nah loh???

Menikah adalah salah satu momen yang paling bahagia sepanjang hidup manusia, sehingga keberadaan undangan dan suvenir adalah hal yang mutlak agar nggak jadi pernikahan yang menyimpang. Dari sisi sustainability, bisnis undangan dan suvenir adalah bisnis yang dapat berlangsung terus menerus hingga ada suatu ide yang dapat menggantikan secara fungsional undangan tercetak dan suvenir yang mementingkan estetika.

Apa kamu punya ide bisnis yang menggiurkan?

Rabu, 21 Desember 2011

Tribute: Perkembangan GILA dalam 1 tahun Ekonom Gila

Siapa sih yang nggak tau sama Ekonom Gila? Buanyakkkkkkk tuh... Bwahahaha... sok eksis banget ya EG :p Tapi, coba deh pembaca yang budiman dan cantik/ganteng (duileee ada maunya!) googling dengan kata kunci "ekonom", lalu apa yang terjadi? Tang traaaaa raaaaa... diurutan ketiga ada ekonomgila.blogspot.com! Percaya atau tidak ini adalah kenyataan di dunia maya!!! Siapa sih diantara kita (atau kami tepatnya???) yang bakal menyangka juga bakalan bisa berkembang sejauh ini? Menyangka sih nggak, tapi ngarep iya... hahahaha...

Setahun yang Lalu

Sumpah deh, sampe sekarang ya saia nggak pasti tau tentang dua sejoli Om Yoga dan Mas Aul, pencetus ide dan pemrakarsa blog ini. Entah iya atau tidak saia seangkatan sama dua makhluk itu (tuaan siapa gitu maksudnya :p), wajahnya seperti apa (yang belakangan saia akhirnya tau juga dari fb dan publikasi maya lainnya), yang jelas nggak asing sih sama kedua nama tersebut. Chemistry nggak harus dari pertemuan nyata kan? Dengan kesamaan visi dan keinginan menjadi gila, maka tanpa pandang usia dan wajah bergabunglah kami.

Saia menemukan sendiri Ekonom Gila, yang kala itu kira-kira berisi 10 postingan, berkat facebook notes Yoga yang berujung ke blog ini. Lantas saia memutuskan nyebur menjadi orang ketiga di hubungan gila mereka, mempublikasikan EG dan menjerat (untung nggak memelet) orang-orang yang berpotensi untuk menjadi penulis ikut bergabung. Setelah 1 bulan koar-koar soal EG, ditodong deh untuk nulis dan menelurkan postingan pertama penuh rasa bersalah dengan kegamangan -- ditolak nggak nih yaaa.

Jadilah tiga makhluk yang bener-bener nggak sama sebagai icons EG kala itu (ngarang ne :p)Trio gelo ini mewakili banget cakupan tiga ilmu utama yang di Fakultas Ekonomi (dan Bisnis) di Indonesia: Akuntansi, Manajemen, dan Ilmu Ekonomi. Mengusung brand Ekonom Gila yang tak perlu diubah menjadi Dodolnomics (saia sudah pernah membahasnya secara logis di sini), yang cukup pas mewakili ramuan-ramuan pemikiran gila, bergeraklah kami menulis dengan target 1 bulan 1 artikel per 1 orang sambil menjaring dan menerima penulis-penulis baru yang gila dan juga yang ingin menjadi netralisir.


Supply vs Demand

Ada masanya kita kelimpungan banget, waktu penulis belum mencapai 10. Belum lagi ada kesibukan masing-masing: ada yang serius skripsi, hectic dikejar deadline kerjaan, depresi ngelamar kerjaan sampai takut nasibnya berujung jadi supir, ada yang persiapan mau pendadaran, sampai ada juga patah hati dan galau. Saia pribadi rasanya khawatir akan kehilangan fans EG karena konten yang nggak tiap hari bisa di-update. Nggak mau banget jadi blog yang mati suri (lebay deh ah :p)

Memang sih, tawakal itu adalah golden rule untuk dapat bertahan di dunia yang kejam ini: berusaha maksimal dan berserah pada Tuhan. Kalo bahasa gelonya: "Hidup itu seperti diperkosa, hanya dua cara untuk menghadapinya, enjoy aja atau melawan!" Jadi, dengan menyusup ke jaringan internet kantor sebisa mungkin (ngaku dosa), eksistensi EG diperjuangkan. Sebaliknya, ada kondisi harus melepaskan pandangan dari EG ya tawakal aja.

Tuhan itu baik, satu demi satu malaikat datang ke sarang penyamun EG. Tiba-tiba saja, yang dulunya diajak dan minta waktu untuk pikir-pikir, datang untuk mengiyakan lamaran. Ada juga komentator yang tertarik untuk menjadi penulis. Ada pula yang berbaik hati membuatkan logo. Itu dari sisi supply, maksudnya penyediaan konten dan sebagainya. Dari sisi demand, kita dibantu oleh teman-teman yang berbaik hati mau share lewat media-media sosial, hingga sekarang seperti bermimpi 100.000 hits juga sudah tembus. 

Atmosfir EG

Uniknya di EG, ada atmosfir yang beda banget dari tempat bekerja yang lain. Ya, tentu saja di EG ini kita bekerja dan bayarannya kapan-kapan taon dan nggak ada yang tau kejelasannya (ingat tawakal!) Di EG itu: nggak tingkatan keanggotaan (semua penulis memiliki hak dan kewajiban yang sama), nggak ada keharusan mencapai target (1 postingan setiap 1 bulan), nggak ada saling gusur dan bentrok. Adanya yaaaaa orang gila semua dengan ide dan gaya yang di luar lingkaran normal.

Kebebasan tersebut malah menjadi culture yang membuat semua kita kompak. Inisiatif saja untuk melakukan sesuatu atau melontarkan ide, dan niscaya dihargai. Ada yang memaparkan permasalahan di grup, lalu yang lain kasih komen. Kalau ada orang yang agak rese, ya itu mungkin cuman satu biji aja, saia: si tukang palak postingan dan pentarget hits blog, jumlah like page, jumlah postingan (nggak serem kok tapi :D)

Sampai sekarang saia belum bisa mendefinisikan jenis sindikat apa EG ini. Yang pasti, EG menjadi salah satu bagian hidup saia dan personil EG lainnya menjadi sahabat dunia maya saia *sambil berkhayal tentang kopdar*. EG membuat saia bisa menulis sesuatu yang bertema lebih serius dengan keadaan saia yang nggak bisa terlalu serius, plus memaksa saia untuk membaca sebelum membagikan atau mengomentari sebuah postingan (otomatis menambah wawasan), dan bersama-sama belajar membuat tacit yang ada di kepala menjadi sesuatu yang berguna bagi orang banyak.

Happy Birthday Ekonom Gila! Happy 100.000 hits!!!

Jumat, 18 November 2011

Wedding Party: Faktor U, Stakeholder Satisfaction, Gengsi Center, BEP tak terukur

Katanya orang sih hari istimewa, sekali seumur hidup, menjadi raja dan ratu sehari. Saking hari spesial, banyak banget upacara yang harus dilalui untuk peneguhan pernikahan. Untungnya ya, saya punya badan yang sehat dan kuat (alias banyak sediaan lemak :D hahahaha...) sehingga nggak tumbang ngurusin ini dan itu. Kalau dipikir-pikir, padahal ya, yang paling penting itu kan kedua pihak menjalin kesepakatan untuk mengarungi kehidupan ini bersama (benerrrrrr kannnnn????), tapi yang ada harus ribet gini dan gitu, seperti yang pernah saya ulas sebelumnya di postingan berjudul Wednomics.


Faktor U

Faktor U? Umur, masa iya ga cukup umur mau menikah ya... hehehe... Faktor U biasanya sih jadi patokan yang pantas untuk siap nikah, dan selain cukup umur, berdasarkan mitos gitu selisih umur tertentu berdampak baik atau buruk terhadap pernikahan (skippp laaaaaa, ga usah bahas mitos... hehehe).

Yang pasti, faktor U yang berperan sangat penting adalah UANG. Gilak, mau pesta sekecil dan sesederhana apapun ya UUD, ujung-ujungnya duit, ya nggak??? ya kan??? (maksa ihhhh!) Faktor uang ini kadang kurang dipikirkan kalau belum punya pasangan, mendingan juga hepi-hepi dengan rekan-rekan kerja, ya nggak?!?

Tapi dipungkiri atau tidak, sangatlah penting loh untuk menabung sejak dini atau paling tidak pastikan ada yang mau menjadi penyandang dana untuk pesta pernikahan Anda nantinya! #solusi dari Ekonom Gila

Stakeholder Satisfaction

EG kan udah pernah bahas nih tentang stakeholder, boleh baca yang case motor di Jogja "Stakeholder Oh Stakeholder", nah kalau case-nya wedding party, bisa dikatakan ya stakeholder itu sangat luas cakupannya dan how to maximaze stakeholder value belum ada ukuran pastinya.

Yang bisa digolongkan sebagai stakeholder: yang pasti keluarga/kerabat; supplier makanan, kue, kostum, hiburan, dokumentasi, dsb ; undangan yang terundang, lupa diundang, sengaja nggak diundang, nggak sengaja diundang, diundang tapi ga bisa datang karena jauh, sebut saja lagi yang ada kaitannya dengan pesta perkawinan, pada intinya adalah: ga satupun stakeholder termasuk yang punya pesta sendiri merasa pesta pernikahan yang digelar memberikan kepuasan melebihi standar masing-masing, ada saja yang menjadi kekurangan (cieeee curcollll... ahahahay :p). Masih ada lagi faktor yang sangat menentukan tetapi tidak dapat kita kendalikan, yaitu: cuaca! Maka, banyak-banyaklah berdoa agar selama pesta dilangsungkan cuacanya cerah ceria.

Jadi, solusi dari Ekonom Gila adalah: pastikan Anda puas dengan pesta pernikahan Anda meskipun stakeholder Anda tidak puas! #solusi dari Ekonom Gila

Gengsi Center 

Menurut saya pribadi (atud nih kalo bilang menurut EG ntar EG bisa di-sue :D), pesta pernikahan adalah ajang yang bergengsi, bukan hanya untuk penyelenggara tetapi juga untuk undangan yang datang, meskipun nggak ada juri seperti acara idol-idolan. Kalau dalam ilmu Akuntansi Manajemen ada yang disebut Profit Center, Cost Center, dsb. maka wedding party saya sebut "Gengsi Center".

Kemewahan, kata yang bisa mewakili Gengsi Center ini. Berapa megah dan mewah pesta yang digelar menjadi faktor utama penentu kemeriahannya, juga prestise buat penyelenggaranya, setuju? Tamu undanganpun tak kalah mewah penampilannya (juga gede angpao-nya) supaya nggak kalah pamor. Eits, tapi jangan salah loh, kita nggak harus terpuruk dalam ukuran mono "Gengsi Center" ini untuk punya pesta yang meriah.

Aktif dalam kehidupan sosial adalah salah satu faktor pesta pernikahan jauh dari sepi, pastinya ada yang mau bela-belain datang. Selain itu, bisa dengan kiat menyelenggarakan pesta yang unik (kalau akad yang unik sih ada seorang teman saya yang akad di dalam Museum Kereta Api Semarang) #solusi dari Ekonom Gila

BEP tak terukur

Banyak hitung-hitungan dan kalau-kalauan kalau yang menikah itu ekonom ya? Bukan hanya masalah pesta pernikahan yang mencapai BEP tentunya, tapi dipikirin sampai "jika mereka akhirnya jadi pejabat ekonomi". (banyak amat promo link dari tadi yak? hehehehe...)

Layaknya sebuah event, sebagai EO tentunya kita nggak mau rugi, tapi apa mau dikata wedding party bukanlah bisnis, ini adalah pesta untuk merayakan hari yang bahagia, dengan berbagai prosesi yang bikin pusingggggggggg tapi sekali seumur hidup untuk dikenang selama-lamanya, amin.

Maka, selenggarakanlah pesta pernikahan yang sesuai budget dan kepuasan kita pribadi, pikirkan faktor U, tapi abaikan stakeholder satisfaction (yang nikah kan kita ini bukan tamu undangan), jangan terpuruk dalam "Gengsi Center", dengan demikian cucok dengan BEP pribadi kita yang tak terukur oleh siapapun! :)

Happy planning a personally perfect wedding party!

Rabu, 29 Juni 2011

Sensasi Pasar Tradisional

Ajegile tante, ada gitu sensasinya? Yang ada becek dan bau... Hahaha... ehm... coba deh ada yang mengklaim pasar tradisional sebagai budaya negaranya, jiwa patriot kita berkobar-kobar untuk merebut dan mengakui kembali "Ini Hanya Ada di Indonesia", "Hanya Milik Indonesia", dengan berbagai aksi patriotisme romantis abissss... Aaaah sudahlah kok jadi sentimen gitu, kalo mau curcol ya curcol aja gitu looooh...

Well, saya mau dari customer view aja banding-bandingin dikit, soalnya pengelolaan atau dampak perekonomian nggak ahli-ahli banget, apalagi akuntansi untuk pedagang pasar saya tidak menguasai dan nggak tau nyari di mana. Xixixi... Dalam perbandingan ini tentunya dengan modern market (supermarket dan hypermart, berbeda dengan makna pasar tradisional yang well organized yang pernah dibahas EG).

See, Ask, and Go

Inilah kepraktisan yang saya cintai dari pasar tradisional. Datang, lihat, dan kalo nggak kelihatan tanya "jual xxx ga?", bahkan kalopun ga ada jual masih saya tanyain "yang jual xxx di mana ya?", kalo udah ada barangnya dan sesuai dengan yang dikamsud tinggal tanya harga, mulailah aktivitas menawar (walaupun beda 1000 atau 500 itu nggak signifikan bagi saia, entah mengapa selalu minta turunin harga... hahaha...), terus bayar, barangnya jangan lupa dibawa, dan pergi. *Hidup pecinta kepraktisan!*

Simple! Ga bikin laper mata (seperti belanja di modern market)! Mau beli apa, ya beli then go! Nggak beli yang nggak perlu dan hemat waktu.

Berasa Ratu

Pembeli adalah raja, katanya orang. Well, berhubung cewek ya ratu dong ya, hahaha... gimana sih tuh rasanya jadi ratu? Coba aja ndiri! Saya sih sedikit-banyak merasa jadi ratu beberapa menit sewaktu belanja di pasar tradisional.

Baru terlihat "kayak mau beli doang" saya ditanyain mau beli apa, kalau ada ditunjukkan ke tempat barang tersebut berada, kalau nggak ada diberi referensi tempat lain yang menjual. Mau beli boleh pakai gaya suka-suka, mau milih sendiri or dipilihin, mau berebutan dan dorong-dorongan juga hayuk... wakakakaka...

Senyuman selalu menghiasi wajah penjual, sambil menyebutkan harga dan menerima bayaran. Udah bayar terus nanya-nanya lagi masih diladenin dan beli yang kelupaan nggak usah pake antri lagi, langsung serobot... Hahaha... senang saia!

Kesepakatan 

Mungkin saya memang lemah dalam memilih dan menawar. Dalam memilih, maklom saja hanya mengandalkan insting dalam memilih soalnya seumur-umur nggak pernah milih sayuran ataupun buahan, kalau daging dan ayam *aiiiiih...* menyentuh saja nggak berani. Kalau menawar yaaa hanya sekedar nawar (formalitas biar ga terkesan oon dan tajir... bedeeeeh...) dan parahnya nggak kekeh nawar... hahahay... gimana seh ini?

Yang saya lihat adalah kesepakatan harga sebagai suatu solusi. Mungkin untuk orang seperti saya yang tergolong newbie berbelanja di pasar tradisional, membuat kesepakatan harga dengan saya adalah perkara mudah bagi penjual! Saya nggak punya referensi harga sih, tapi bukan nggak mungkin kalau saya nantinya tau (semakin kecil asimetri informasi) dan saya berjiwa getol, masih bisa dinego. 

FYI saya price senstive loh kalau belanja di modern market! Saya liat yogurt Cimory dijual 9000 aja saya nggak mau beli, setau saya sih biasanya 6000 lah, dan coba deh kalaupun saya mau nawar, manager G***** nggak bakal nurunin harga Cimory, got it? Di modern market, ada kesepakatan tidak tertulis: Penjual menetapkan harga, dan pembeli beli aja!

Kenyamanan Berbelanja 

Yang menjadi faktor psikologis dan kenyataan bahwa modern market lebih diminati, dikarenakan kenyamanan berbelanja di sana, bersih dan adem. Kalau saya rasa-rasa, ada satu lagi sih: karena nggak ada rasa segan kalau-kalau nggak cocok harga terus nggak jadi beli. Harga telah tertera, pembeli hanya memutuskan. Bahkan ngeliat-liat 1 jam dan megang semua barang tapi nggak beli apa-apa juga boleh, definisi saya: kenyamanan cuci mata!

Memang, kelemahan terbesar dari pasar tradisional adalah kenyamanan berbelanja. Mengapa harus malu untuk sesuatu yang memang nyata-nyatanya benar: pasar tradisional nggak jauh dari kesan jorok! Kita masih bisa memilih yang sesuai dengan mood kok, lagi mau praktis (ini mah tergantung orangnya sebenarnya), memuaskan hasrat nawar or mencari kenyamanan dan cuci mata ;)

***

Ya, gitu deh... sekedar curcol dan berbagi. Lebih suka yang mana, ehm... sensasinya beda-beda sih!

Rabu, 27 April 2011

Kreativitas vs Orisinalitas

Seyakin apa Anda untuk mengatakan bahwa ide Anda murni berasal dari pemikiran Anda sendiri, tanpa ada kontribusi dari apa yang pernah dibaca atau didengar? Mungkin tanpa sadar apa yang pernah diri kita pelajari dari sana sini meresap di alam bawah sadar, bergabung dengan ide-ide lain, lalu menghasilkan ide yang baru. Ide baru tersebut disebut kreativitas atau orisinalitas?  

Apa sih batasannya?

Archimedes, orang yang menemukan berat jenis. Penemu gila ini mendapat ide saat masuk ke dalam bak mandi yang penuh air dan meluaplah air di bak tersebut kemudian dihitung volum yang tertumpah. Volum tersebut dibagikan dengan volum air untuk mengetahui berat jenis. Dengan cara yang sama ia membuktikan bahwa berat jenis mahkota akan lebih rendah daripada berat jenis emas murni apabila pembuat mahkota tersebut berlaku curang dan menambahkan perak ataupun logam dengan berat jenis yang lebih rendah. (intermezo:  mungkin ada pertanyaan mengapa saya sering menggunakan teori yang berasal dari ilmu pasti sebagai pembanding, jawabannya: karena ilmu tersebut pasti!). Teori berat jenis yang orisinil?

KFC atau ayam goreng Suharti? Keduanya enak dengan cita rasa yang berbeda, keduanya orisinil, tapi lebih suka yang mana yah tergantung masing-masing lidah. Nggak apple to apple karena walaupun sama-sama ayam tapi berbeda bumbu dan cara pengolahan? Cara pengolahan membuat ayam yang sama-sama ayam mentah menjadi ayam matang yang berbeda. Apa ini, jadi bumbu dan cara pengolahan adalah orisinalitas atau kreativitas?

Ekonom Gila, brand yang bagus kan untuk mendeskripsikan pada orang yang baru saja mendengar/membaca frasa tersebut "ekonom gila": pasti ada hubungannya dengan ekonomi dan gila? Coba saja kalau 2 orgil itu memutuskan namanya Dodolnomics, apa yang ada di pikiran Anda? Kalau Ekonom Mesum sih, jangankan nulis (mungkin) liat aja saya udah ogah *maklum ntar ada kamera yang lagi shoot saya ngirain saya liat konten mesum lagi... hahaha... memang saya dewan ya? Becanda mulu nih... hahaha... maksud saya, gimana kalau cuma brand-nya saja berbeda tetapi kontennya sama: Ekonom Gila, Dodolnomics, Ekonom Mesum. Jadi, brand kreativitas dan konten orisinalitas? Tapi kontennya nggak muncul serta merta loh, berasal dari gabungan informasi yang disatu-satukan dengan bahasa sendiri. Kreativitas itu adalah orisinalitas?

Renren, produk yang lahir dari pengkondisian sistem tirai bambu China yang tetap ingin sejalan dengan perkembangan dunia. Renren itu Facebook khusus China, yang miripppppp banget (katanya) sama Facebook *nggak tau memang nggak bisa akses atau inet saya yang lemod abis, penasaran juga sama tampilan Renren. Murni kreativitas?

Entahlah, saya sih secara common sense aja bilang yang nggak orisinil itu yah yang niru banget gitu loh.

Kreativitas vs Orisinalitas 

Yang orisinil yang terbaik? Mengapa jejaring pertemanan Friendster nggak dibuka lagi setelah ada Facebook? Hmm... ini contoh ayam ya, jejaring pertemanan sih sama (bahan mentah sama), tetapi fitur beda (bumbu beda). Menurut saya Facebook lebih unggul karena kita benar-benar disentuh kehidupannya, kalau jaman Friendster dulu sih sekedar nulis testimoni untuk dapat testimoni, right?

Di tengah kekalutan akan ada yang menjiplak Ekonom Gila *lebai deh ah... hehehe... saya tadi sih sempat cek dengan googling "ekonom gila" ternyata nggak ada tuh yang mirip-mirip sama Ekonom Gila dan nggak menemukan juga artikel Ekonom Gila yang di copas *copas cantumin sumber sih gpp, itu bantuin promosi. Saya bertanya-tanya: apa sih yang saya takutkan? Kreativitas takkan mati sih sekalipun dicomot, hanya saja ego kita terlukai (ini melanggar HAKI!) tapi secara materi nggak ada yang direnggut kan?

Bagaimana bila sudah berkaitan dengan uang? Misalnya hari ini kita usaha warteg, lumayan rame, untungnya sih kalau kita proyeksikan 1 bulan balik modal. Eh, besoknya tetangga kita buka warteg, menunya persis sama hanya dia melakukan branding dengan spanduk gede warna ngejreng "Warteg G403L" dan gara-gara itu semua yang kemaren beli di warteg kita sekarang ke warteg tetangga! Parahnya setelah kita marah-marah ke warteg tetangga dia malah bilang: lo sih nggak kreatif!

Jadi, apa yang paling penting: orisinalitas atau kreativitas? Atau sebodo amat apa beda keduanya, yang penting ide tersebut menarik dan diinginkan oleh pasar sehingga bisnis kita punya going concern?

Sabtu, 23 April 2011

Chefnomist

Oleh: Dyah Resty 
Sore-sore makan kue sambil minum teh hangat..ditemani musik dan buku.. Rasanya cozy banget. Iseng-iseng pikiran ini melayang.Ternyata ekonom itu mirip-mirip ya dengan chef?

Chef
Menentukan kebutuhan (ingin masak apa?) Mengecek kelengkapan bahan yang ada (apa cukup atau ada yang kurang untuk membuat masakan yang diinginkan?) Meracik berbagai bahan dan bumbu sesuai takaran sehingga menghasilkan masakan yang lezat di lidah dan bermanfaat juga bagi tubuh.

Ekonom
Menentukan kebutuhan perekonomian negara (Berapa persen pertumbuhan yang ingin dicapai? Berapa banyak pengangguran dan persoalan kemiskinan yang ditargetkan diatasi? Etc). Mengecek kelengkapan infrastruktur, suprastruktur, dan hal-hal lain yang diperlukan untuk mewujudkan tujuan yang ingin dicapai. Membuat kebijakan, peraturan-peraturan terkait sesuai kebutuhan, berdasarkan takaran, agar tujuan dapat tercapai.

Secara sederhana tampak ada persamaan antara chef dan ekonom. Tapi ternyata ada perbedaannya juga. Chef seminim apapun kemampuannya.. yang namanya chef sudah tentu ahli mengolah makanan menjadi masakan yang lezat. Masakannya disukai sebagian besar orang-orang. Entah orang itu lapar atau tidak.

Sedangkan ekonom..tidak semua kebijakan yang dihasilkannya benar-benar “lezat” dan bermanfaat untuk semua pihak. Tetap saja ada yang dirugikan dari sebuah kebijakan yang diterapkan,entah itu banyak ataupun sedikit. Coba lihat chef masa kini. Mereka sudah tampak seperti Farah Quinn. Memasak dengan kombinasi bahan tradisional dengan cara memasak yang praktis, modern, dan ala barat. Hasilnya adalah masakan yang tampak sederhana cara membuatnya, dan tetap lezat rasanya.

Sama juga kan seperti beberapa ekonom masa kini? Mengombinasikan permasalahan-permasalahan konvensional negara dominasi agraris dengan menggunakan teori-teori modern yang diterapkan di negara lain yang jauh lebih maju sebagai solusinya. Tapi bedanya, untuk yang ini, rasanya nggak selezat masakan ala chef Farah Quinn.

-*-

Kamis, 21 April 2011

Woman Loves Money

Oleh: Titoeyt Cherry*

Ketika berjalan kaki sepulang kuliah malam dan menuju halte bus, aku berbincang dengan temanku yang berasal dari Brunei. Aku iseng sekadar tanya tentang Sultan Brunei dan kedua istrinya. Temanku malah balik nanya, istri yang ke-berapa. Dan, ternyata temanku menceritakan kalau istri Sultan Brunei hanya satu semenjak beliau menceraikan kedua istrinya yang kebetulan orang Malaysia. Kutanya alasan kenapa Sultan Brunei menceraikan keduanya, karena kedua istri mudanya suka uang, jawab temanku. Dengan singkat, aku malah menimpali, “Woman loves money...

Singkat cerita, Sultan Brunei itu menceraikan istrinya setelah kedua istri muda itu rupanya mengambil harta suaminya secara diam-diam padahal Sultan bisa memberikannya dengan cuma-cuma jika mereka meminta secara langsung. Ini ilustrasi pertama.

Ilustrasi kedua, di acara keluarga, aku berkumpul dengan saudara-saudaraku dan ketika itu tiba-tiba tanteku berceletuk kepada ayahku untuk minta dicarikan jodoh tetapi inginnya suami yang kaya. Latar belakang tanteku ia adalah wanita yang independen, sudah kerja lebih dari tujuh tahun di kantor akuntan publik tetapi rupanya meski sudah mandiri secara keuangan, calon suami yang kaya menjadi prioritas utamanya.

Ilustrasi ketiga, aku pernah membaca sebuah artikel kalo tidak salah dari Reader Digest Indonesia. Meski kini hidup di jaman modern, simbol kejantanan dan kebetinaan dari kaum adam dan kaum hawa masih berlaku. Dulu, di jaman purba, laki-laki yang kasar, kuat dan keras identik dengan kejantanan di mata perempuan. Mengapa hal ini penting? Karena kehidupan alam di bumi dulu begitu keras dan dengan hidup bersama laki-laki yang kuat dan keras wataknya, perempuan merasa terlindungi. Jaman modern kini berubah, kejantanan tidak identik dengan laki-laki yang berotot, macho atau perkasa bahkan penampilan bisa dikatakan nomor sekian jika di kantongnya banyak pundi-pundi bergemirincing. Sehingga, laki-laki yang banyak uang terlihat jantan di mata perempuan karena dunia modern kini cenderung terkorup oleh materialisme atau apa-apa dilihat dari uang.

Laki-laki yang membaca tulisan saya, mungkin langsung melotot, wah gawat kalo semua perempuan kayak begitu atau ada perempuan yang protes, saya nggak gitu tuh. Analogi perempuan suka uang itu seperti laki-laki suka perempuan cantik. Secara naluriah, laki-laki kalo liat perempuan cantik lupa kalo dia sudah punya pacar atau istri untuk beberapa detik dan menit begitu juga dengan perempuan secara naluriah suka dengan laki-laki yang punya banyak duit.

Hal ini mungkin terlihat sepele, tapi bisa jadi realitas dan fenomena sosial yang ada. Bagi perempuan yang lahir di keluarga menengah ke atas tentu tidak masalah ketika sang ayah mampu memenuhi kebutuhan belanja anak perempuan mereka. Bagi perempuan berpendidikan dan memiliki karir, mereka juga tidak mempermasalahkan ketika pasangan mereka, tidak kaya-kaya amat soalnya mereka sendiri mampu kok. Hanya saja, bagi mereka perempuan yang miskin, atau hidup berkekurangan dan tidak memiliki skill, maka satu-satunya cara adalah menjual diri.

Terkadang kemiskinan membuat orang kufur nikmat, kata pepatah. Jika melihat kasus tahun 2009-2010 tentang pelacuran remaja usia dini dengan iming-iming uang beberapa juta di kota besar seperti Jakarta dan Surabaya, itu sungguh hal yang miris. Tetapi, jangan salah juga terkadang perempuan yang merupakan pekerja kantoran demi mendapat kehidupan yang lebih baik mereka menghalalkan segala cara seperti selingkuh dengan atasan atau merebut suami orang. Ini realitas di kehidupan kota besar seperti di Jakarta. Hingga pernah saya mendengar teman mengatakan hidup di Jakarta terkadang hanya membuat hidup demi uang, berkeluarga dan berusaha mempertahankan agar pasangan tidak selingkuh.

Hal yang menginspirasi saya menulis tentang perempuan dan uang karena beberapa hari yang lalu saya menonton You Tube tentang pelacuran di balik jilbab di Iran. Menyedihkan ketika seorang ibu yang ditinggal suaminya harus melacurkan diri di tengah malam sambil membawa bayinya hanya demi menghidupi dirinya dan bayinya. Ketika kaum hawa seperti saya sedang asyik belajar entah master atau PhD, atau sedang asyik berkerja, ada sekolompok perempuan yang harus terseok-seok di ujung jalan menanti pelanggan hanya demi segenggam uang. Ini realita!

*) Penulis Ekonom Gila (profilnya belum dibuat :P)

Selasa, 19 April 2011

Wednomics

Nikah aja kok ribet?! Iya, bener itu... bukan saya loh yang nikah, tapi saya sedang mengamati dan (sedikit) mencari informasi tentang hal tak terlupakan yang ingin dicapai sebuah rangkaian pesta pernikahan yang ribet dan menelan biaya yang dapat membiayai berdirinya sepuluh bahkan lebih usaha kecil.

Lupakan soal makna, mari kita berbicara tentang komponen yang lebih kurang personal: uang. Banyak pasangan muda yang menunda pernikahan karena kendala belum mengumpulkan bekal (uang) yang cukup untuk rangkaian pesta pernikahan. Rangkaian, seperti kereta apa saja? Ya, rangkaian.

Rangkaian Pernikahan

Saat belum memiliki dana yang lumayan saya sudah menceburkan diri untuk mendatangi Wedding Expo yang mengharuskan saya membayar sekian puluh ribu rupiah. Saya termakan bujuk rayu seorang teman yang mengatakan kita bisa icip-icip gratis di dalam (tanpa mengatakan fakta bahwa kita harus berpura-pura akan memesan catering dari pengusaha catering yang kita icip-icip). Yang namanya expo, pasti lengkap dari A sampai Z, mulai dari: foto pra-nikah, perawatan pra-nikah, percetakan undangan, baju pengantin, baju keluarga, baju pengiring, make-up, wedding organizer, sewa gedung dan dekorasi, cincin kawin (kenapa bukan cincin nikah ya), kue pengantin, jasa video dan pemotretan, catering, florist, mc dan hiburan musik, paket honeymoon, bahkan sampai penjual e-frame juga eksis.

Terbayang kan, itu hanya hal-hal umum loh? Ada hal-hal lain yang saya rasa akan dilakukan oleh pasangan yang akan menikah (yang tentunya butuh biaya) seperti: membeli majalah yang membahas pernikahan, mencari tanggal baik, menyebarkan undangan, membeli mahar, mengurus surat-surat pernikahan, lamaran, dan biaya pulsa telpon untuk mengurus ini itu. Ada juga komponen yang free seperti: mengikuti penataran pernikahan (di gereja), membuat wedding blog, menyebarkan undangan melalui facebook.

Pernikahan Spektakuler 2011

Mari kita intip budget yang dihabiskan oleh pernikahan spektakuler di tahun 2011: Pernikahan Pangeran Willian dan Kate Middleton yang akan digelar akhir April 2011 memiliki budget 369 milyar, selengkapnya tentang pernikahan tersebut dapat dilihat dari official website.

Ternyata pernikahan spektakuler tersebut itu bukan hanya besar dari sisi expense, tetapi ada juga potential income yang bisa didatangkan dengan bantuan banyak kreatifitas (selain yang vendor untuk pesta pernikahan). Beberapa contoh:
  • Papa John's mengeluarkan pizza dengan topping wajah kedua mempelai. Potential income untuk gerai pizza tersebut kan?
  • Fashion. Topi dan gaya berbusana Kate Middleton dijadikan trendsetter. Potential income untuk industri fashion kan?
  • Komik. Dua seniman Inggris Rich Johnston dan Gary Erskine berkolaborasi menghasilkan komik 60 halaman berjudul "Kate & William - A Very Public Love Story". dua seniman Inggris . Potential income untuk kartunis kan?
  • Hingga penjualan kondom dengan gambar pasangan itu di bungkusnya (ini menimbulkan kecaman) 

Memang, untuk cari duit kita harus kreatif ya seperti contoh-contoh di atas?

Tentang Pesta Pernikahan

Saya sempat berpikir untuk mendirikan sebuah wedding organizer di kota kelahiran, kota Padang. Tetapi saya berpikir lagi, apakah mungkin bisa terlaksana ya? Karena pernikahan di sana cenderung sederhana, biasanya diadakan di rumah atau di gedung perhimpunan, dengan gaun pengantin sewaan. Untuk mengurus ini itu nggak ribet. Namun, tetap saja membutuhkan uang yang seperti saya sebut-sebut: dapat membiayai usaha-usaha kecil. Daripada menabung bertahun-tahun atau berhutang untuk biaya pernikahan, apa nggak lebih baik digunakan untuk modal usaha?

Secara pribadi masih bingung dengan aspek ekonomis dan psikologis. Dari sisi ekonomis: toh, esensinya menikah, mengapa harus boros? Lagipula pernikahan saya juga nggak akan memberi inspirasi bagi orang untuk 'cari-duit'. Dari sisi psikologis: untuk sekali seumur hidup apa nggak wajar untuk dirayakan? Jadi???

* ekonom gila yang sedang dalam dilema *

Sabtu, 16 April 2011

Tiga Saudara Kandung

Bila kita mendengar fakultas ekonomi, secara umum akan muncul pertanyaan: jurusan apa? Akuntansi atau manajemen? Atau Ilmu Ekonomi? Ya, mungkin juga ada yang beranggapan bahwa di fakultas ekonomi hanya ada dua jurusan: akuntansi dan manajemen.

Apa yang ingin saya bahas? Benarkah mereka tiga saudara kandung? Siapa mereka? Mereka adalah: akuntansi, manajemen, dan ilmu ekonomi. Benarkah di dunia ini ada satu pohon bernama ilmu pengetahuan, berdahan bermacam ilmu (satunya bernama ekonomi), lalu mereka bertiga saudara kandung yang cabang dari dahan bernama ekonomi? Lalu, apakah akuntan itu ekonom, pengusaha itu ekonom, auditor itu ekonom, manager itu ekonom, markerter itu ekonom? Apakah Akuntansi, Manajemen, dan Ilmu Ekonomi adalah Tiga Saudara Kandung?

Sebelumnya tak ada yang menggugah pikiran saya tentang hal itu, "ya demikianlah" bahasa gampangnya. Sampai suatu saat seorang dosen berceloteh bahwa konsep tiga saudara dalam satu fakultas tersebut rancu. Menurut beliau, di luar Indonesia, fakultas ekonomi ya isinya hanya jurusan Ilmu Ekonomi. Bila hal ini telah diterapkan sejak awal maka nggak akan ada kisah suram yang dialami seorang mahasiswa jurusan Ilmu Ekonomi. Jurusan akuntansi dan manajemen di mana dong? Dua saudara ini di bawah Fakultas Bisnis.

Jadi, apa bedanya ekonomi dan bisnis? Saya kutip dari wikipedia sebagai berikut: "Ekonomi merupakan salah satu ilmu sosial yang mempelajari aktivitas manusia yang berhubungan dengan produksi, distribusi, pertukaran, dan konsumsi barang dan jasa. Tentang bisnis, wikipedia menuliskan bahwa bisnis adalah suatu organisasi yang menjual barang atau jasa kepada konsumen atau bisnis lainnya, untuk mendapatkan laba. Ditambahkan pula informasi bahwa, studi yang mempelajari bisnis secara efisien dan efektif disebut dengan manajemen. Kalau saya boleh menambahkan sendiri, studi yang mempelajari cara mendokumentasikan transaksi bisnis hingga melaporkannya ya yang kita sebut sebagai akuntansi. Lalu bisnis-bisnis yang ada membentuk ekonomi suatu daerah/kota/negara/dunia melalui produksi, distribusi, pertukaran, dan konsumsi barang dan jasa yang dilakukan. Ya, memang nyambung sih bisnis dengan ekonomi, seperti kata anak muda jaman sekarang: jelas beda doooong bebek sama kuda (untuk contoh ini lebih masuk bila yang dibandingkan bebek dengan angsa), walaupun nyambung kan kalau kita bilang mereka hewan?

Dengan landasan pemikiran ini pula, FE UGM berubah menjadi FEB UGM (Fakultas Ekonomi dan Bisnis), dan saya berada di sana saat perubahan itu terjadi. Nggak umum dengan FEB karena di Indonesia umumnya FE? Haiz, umum bukan berarti benar bukan? Bila kita membenarkan sesuatu karena hampir semua orang begitu, itu hanya berstratagem (istilah ini memang belum terkenal). Bila kita membenarkan sesuatu karena secara logika itu memang benar, itu baru berargumen.

Jadi, ekonom gila mau ikut berubah jadi ekonom dan pebisnis gila? Hahaha... menurut saya ini pertanyaan yang sama kepada KFC: apakah KFC mau berubah menjadi Kentucky Fried Chicken and Rice and Burger and (you named it). Kadangkala sebuah brand memang nggak sepenuhnya menggambarkan keseluruhan, seperti buku antologi kadang dijuduli salah satu cerita yang paling menarik.


Senin, 11 April 2011

Cantik Itu Mahal



Cantik itu nggak harus mahal? Itu kan kata iklan. Rambutnya lurus banget, dengan bermodal shampoo. Saya sudah coba sih, namun tidak ada pengaruhnya meskipun pada awalnya rambut saya sudah lurus, tapi nggak bisa selurus itu! Kalau di-smoothing (bedanya tipis dengan bonding) baru deh hasilnya seperti 'iklan itu', dan masih belum sebagus iklan itu. Nggak lama efeknya juga hilang dan balik deh lagi ke rambut jelek. Akhirnya saya memutuskan saja untuk berbahagia dengan rambut lurus yang ujungnya lengkung-lengkung.

Beranikah Anda Menghitung Budget Kecantikan Anda Sebulan?

Ha? Saya ternganga membaca judul artikel pada cover majalah FEMINA yang tidak sengaja terbaca oleh saya lantaran tulisan bold dengan warna cerah yang kontras dengan warna cover majalah yang sejajar dengan mata saya. Yang benar saja, itu terasa seperti tantangan untuk mengetahui seberapa-besar-dosa-anda-di-dunia. Saya berlalu dengan alasan mengingat-ingat tujuan saya ke sini adalah untuk menyewa komik bukan majalah, jadi biarlah ada artikel menggelitik begitu saya nggak mau liat!

Namun, tetap saja teringat terus di pikiran - tentang budget itu. Jadi, saya pingin juga tuh baca itu artikel, sayangnya lagi nggak ada yang dicari. Gambaran umumnya sudah ada dong: budget kecantikan sebulan means uang untuk satu bulan yang telah kita persiapkan untuk mencapai "penampilan yang cantik menurut umum".

Sedikit saya modifikasi menjadi "cantik menurut saya" yang beda tipis doang dengan cantik menurut umum, karena saya mencoba hanya berfokus kepada 1 hal (wajah saja, karena ini saja yang saya pusingkan -> bagaimana bebas dari jerawat, kilap, dan nggak iritasi kemerahan bila kena matahari). Mari kita hitung.


Memberanikan Diri Menghitung 

Seperti yang saya bilang, ini seperti mengetahui seberapa-besar-dosa-anda-di-dunia bagi saya. Apakah maksudnya menggelontorkan budget besar demi kecantikan itu adalah sebuah dosa besar? Ya, sepertinya. Karena dengan demikian ikut membenarkan bahwa cantik itu HARUS mahal.

Sebagai pemilik wajah dengan genre kulit sensitif, seharusnya saya menjalani perawatan ekstra di bawah ahli kecantikan kulit (misalnya: erha atau natasha). Tapi memang dasar saya mempunya mindset nggak bener: nanti ketergantungan dan parahnya saya nggak mau memakai produk yang hanya botol biasa diberi label (memang aneh). Saya lebih merelakan diri dalam aksi trial and error dengan produk kecantikan untuk wajah!

Hampir semua produk yang ada di supermarket telah saya coba, kemudian produk yang ada diisukan ada merkuri, dan terakhir saya menetapkan hati pada produk yang saya akui mahal untuk kantong saya, tapi saya bela-belain! (bagi Anda para pria yang sulit membayangkan, bayangkan saja bagaimana mencari pacar yang cocok, dan kalau udah ketemu berapapun kocek yang harus dirogoh Andapun rela).

Terlepas dari promosi, ini hanya sekedar curhat sambil mengajak merenung. Mari kita menghitung (hanya untuk wajah) dengan sangat mudah. Sebagai perfeksionis merek, saya hanya menggunakan satu merek untuk kebutuhan wajah, kecuali maskara karena belum habis yang lama sehingga belum beli untuk merek yang ini. Caranya: point di kartu member saya sejak Agustus 2010 hingga sekarang = 121 point. Sebelum punya member wajib belanja 500 ribu. Setiap kelipatan pembelanjaan 25 ribu berhak atas 1 point, artinya secara kasar saya sudah menghabiskan 3,525,000 untuk 9 bulan. Rata-rata 391 ribu sebulan. Nggak salah kan kalau saya menamakan rangkaian perawatan wajah dari The Body Shop ini sebagai "bikin kere collection".

Untungnya, saya nggak ada perawatan khusus lain atau bawel soal merek untuk kebutuhan sabun mandi dan sebagainya. Saya juga bukan pelanggan salon. Jadi, kemungkinan besar maksimal saya menghabiskan rata-rata 500 ribu per bulan. Huah, saya menghirup nafas lega. Paling tidak nggak melebihi budget makan sebagai kebutuhan yang lebih utama.

Jadi, apakah Anda para wanita juga ingin menghitung budget kecantikan sebulan? Benarkah cantik itu harus mahal? Ekonom sekalian pasti dapat melihat bahwa secara efektifitas saya benar, tetapi secara efisiensi saya salah. Terus gimana dong?

Jumat, 08 April 2011

Auditor, Konsultan, Orang Finance, atau Ngetik Depan Komputer?

Daftar pekerjaan? Hmm... lebih tepatnya 4 variasi jawaban untuk satu pertanyaan atau pertanyaan serupa: Mbak kerja apa? Maka jawabannya disesuaikan dengan karakter si penanya dan situasi saat pertanyaan itu dilontarkan.

Edisi curhat pertama dari ekonom gila? Hehehe... mungkin bisa dibilang begitu, artikel ini sedikit berbeda karena bersumber dari pengalaman pribadi penulis. Namun saudara-saudara, ada kok pengalaman orang lain yang serupa (bacalah), jadi saya dengan pede membeberkan tanpa takut dirasa aneh.

Variasi Jawaban Saya

Dimulai dengan jawaban yang benar: auditor. Ya, auditor. Jawaban yang sesuai kenyataan untuk pertanyaan "apa-pekerjaan-kamu" dengan karakter penanya: teman seangkatan, rekan sealmamater, orang-orang dengan latar belakang dari fakultas ekonomi, teman fitness yang bekerja di bank, pewawancara saat melamar kerja, peserta workshop auditing, dosen fakultas ekonomi yang nggak sengaja ketemu entah di mana, dan orang-orang yang nggak akan bertanya lagi: memangnya-auditor-itu-apaan-ya?!?

Mari sedikit beranjak ke jawaban yang keren-kerenan doang: konsultan. Maen game online membuat saya bertemu dengan teman berusia anak sekolah, dengan 2 variasi pertanyaan awal kenalan yang mudah ditebak: "namanya siapa?" atau "kelas berapa?"; dan sumpah walaupun berkali-kali mengalami saya tetap ngakak kalau ditanya "kelas berapa"! Pertanyaan itu akan saya jawab dengan jujur kalau lagi nggak pengen iseng: saya udah kerja. Pasti tau deh pertanyaan selanjutnya: kerja apa? Mari berpikir... auditor atau finance, jelas tidak dimengerti anak sekolah; bilang kerja di kantor pasti juga ditanya lagi kerjaannya apa. Maka, biar keren sekalian marilah dijawab dengan: saya konsultan (ditambahi dengan icon nyengir). Hehehehehehe.... ini juga berlaku untuk teman-teman facebook berusia belia. Ya kalau ditanya konsultan itu seperti apa, ya kayak dokter dimintai pendapat tentang bisnis. Hehehehe...

Orang Finance: saat menelpon ke departemen lain yang menjadi auditee atau calon auditee. Supaya telepon nggak keburu ditutup duluan sebelum mulai bertanya, maka jawablah pertanyaan "dari mana?" (yang seharusnya "dengan siapa ini?" dengan benar). Maka jawabannya: "Saya orang finance, mau cross-check data dari departemen bla bla bla... sehingga membutuhkan data bla bla bla dari Bapak/Ibu." Peduli setan besok-besoknya dia tau bahwa saya auditor internal, yang penting data sudah di tangan, lagipula saya nggak bohong: di kantor saya audit  internal "sementara" masih bernaung di bawah finance department selain mendapat wewenang khusus dari Board of Management. 


Modifikasi Baru

Baru saya temukan kemarin, sehingga sekarang saya punya 4 pilihan jawaban--- yang makin ke kanan  (semoga) semakin tidak mengerikan. Saya juga menemukannya secara tidak sengaja (kemarin) saat terperangkap dalam kebingungan menjawab pertanyaan dari staff di rental komik (ya, saya suka komik :D). Sebelum menanyakan ID peminjam saya, ada pertanyaan yang sangat tak tertahankan untuk ia tanyakan. Kebetulan sore itu saya mengembalikan komik dengan pakaian kantor, sementara biasanya saya wara wiri di sana dengan T-shirt dan celana pendek yang berwarna pink gonjreng atau hijau pohon Natal. Berikut saya gambarkan percakapan yang terjadi antara "staff rental komik" (srk) dan "saya" (s):
srk: Mbak dosen ya?
s: Bukan.
srk: Oh, kirain. Habis di blazer-nya ada lambang universitas *****
s: Ga kok Mbak, saya pegawai di sana.
srk: Jadi apa Mbak?
s: Hmmm... (sambil berpikir memutuskan: auditor lewat, konsultan lewat)
s: finance
srk: apa tuh? kerjanya apa?
s: sama kayak Mbak, ngetik-ngetik aja depan komputer.
srk: oooooooh (dengan puas)
Jadi, apakah pembaca bernasib sama dengan saya?